Hari sabtu yang cerah. Risa dan Caca sedang bermain di rumah Diara, atau lebih tepatnya, mereka sedang menyempurnakan trik-trik yang akan digunakan Saat festivalnya nanti. Saat tiba-tiba, Risa mendapatkan sebuah pesan yang amat mengejutkannya.272Please respect copyright.PENANASsBerTgGw7
“Jadi setelah itu kita tinggal taro di piring?” tanya Caca.
“Betul sekali.” jawab Risa.
“Gua, gua, gua mau coba dong!” pinta Diara.
“Nih, silahkan.” kata Risa lalu memberika centong kepada Diara.
Tiba-tiba, “Tling!” suara ringtone handpone Risa, menendakan ada pesan masuk.
“Handpone siapa itu?” tanya Caca sambil menunjuk ke handpone yang diletakan di atas meja, depan kompor.
“Oh, handpone gua.” jawab Risa lalu berlari menuju meja dan mengambil handponenya.
“Buset, bunyi ringtone handpone lu keras amet.” sindir Diara.
“Emang siapa itu?” tanya Caca, penasaran.
Risa memastikan terlebih dahulu siapa yang mengirimkan pesan kepadanya dan benar dugaannya, yang mengirimkanya pesan adalah Ervan. “Oh, Ervan.” jawab Risa penuh semangat dan langsung membuka isi pesannya.
“Idih, sengaja banget ya.” kata Diara, cemburu.
“Iyalah, pacarnya.” kata Caca, ikut-ikutan melesak Risa.
“Kalau pesan dari gua aja, kagak dijawab-jawab ampe besok.” lanjut Diara.
“Hehehehe, biar.” kata Risa, tak peduli.
“Dia ngirim pesan apa?” tanya Caca, penasaran lalu mendatangi Risa dan melihat apa isi pesan tersebut.
“Apa? Ngajak lu kencan lagi?” tanya Diara.
“Hehehe, maunya sih gitu.” jawab Risa.
“Coba, coba aku liat.” kata Caca agak memaksa.
“Nanti dong. Gua sendiri belum baca.” kata Risa mencoba menjauhkan handponenya dari Caca.
“Jahat.” ketus Caca, membuat Risa tertawa.
“Iya-iya, bentar.” katanya.
Saat Risa membuka isi pesan tersebut, ia benar-benar terkejut. Ia benar-benar tak menduga ternyata bukanlah pesan bahagia yang diekpektasikan oleh Risa, tapi malah berisi sesuatu yang membuat hati Risa hancur. Gara-gara pesan tersebut, Risa sampai-sampai menjatuhkan handphonenya sendiri, membuat kedua sahabatnya kebingungan. "Ada apa? Kenapa di buang handphonenya?" tanya Caca.
"Kalau kagak mau, buat gua aja sini." canda Diara.
Karena penasaran, Caca ngambil handphone Risa yang tergeletak di lantai karena jatuh, dan mencoba membacanya.
"Hah?! Apa-apa ini?" tanya Caca dengan ekspresi wajah sangat terkejut, membuat Diara semakin penasaran.
"Ada apaan sih?" tanya Diara sambil berjalan menuju Caca dan merebut handphone Risa dari Caca.
Setelah membacanya, Diara pun juga ikut-ikutan terkejut. "A-a… Hah?!" bahwa Diara tak tahu harus berkata apa.
"Putus?!" hanya itulah yang bisa dikatakan oleh Diara. Ia betul-betul tak percaya lalu mengarahkan pandangannya ke Risa, yang matanya sudah berkaca-kaca.
"Ti-tidak mungkin." Risa menjatuhkan dirinya karena merasa lemas.
Caca menghampiri Risa dan mencoba menghiburnya. "Mu-mungkin ini hanya salah paham. Gak mungkin Ervan putus denganmu, iya kan?" Caca pun juga tidak yakin.
"Ini bohong. Pasti bohong," bentak Diara sambil memukul meja. "Apa-apaan itu anak, tiba-tiba mutusin Risa?!" lanjutnya, tidak terima.
"Risa, tolong jangan menangis. Aku yakin ini hanya kesalahan pahaman. Mungkin hanya salah ketik." kata Caca, mencoba menghibur Risa.
Risa bangkit dengan tegar dan mengambil handphonenya dari Dinda dengan paksa.
"Woii, apa-apaan ini?!" tanya Diara, tidak terima.
"Gua gak percaya Ervan tiba-tiba mutusin gua begini." jawab Risa.
"Terus kamu mau ngapain?" tanya Caca, menghampiri Risa dan menepuk pundak Risa dengan pelan.
"Aku akan coba meneleponnya. Aku yakin dia punya penjelasan yang bener soal ini." jawab Risa.
"Wihh, gila. Sahabat gua tegar banget." puji Diara.
Tanpa memperdulikan apapun lagi, Risa menelepon Ervan.
"Maaf. Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif." lalu Risa mematikannya dan menelpon lagi. Tapi terus, terus, dan terus begitu. Sampai akhirnya Risa merasa kesal dan ingin membanting handphonenya. Untungnya dihentikan oleh Caca.
"Hei, jangan menyalahkan handphonemu karena gak diangkat sama Ervan." kata Caca sambil menghentikan tangan Risa yang ingin membanting handponenya.
"Tau nih. Kalau handphonemu rusak gimana?" tanya Diara.
“Aku kagak peduli. Pokoknya aku harus menelepon Ervan sekarang." batin Risa sambil memukul meja.
"Ya, aku tau. Tapi kau gak bisa melakukannya jika handphonemu rusak." kata Caca, mencoba menenangkan Risa.
"Tapi dia gak ngejawab-jawab panggilan aku dari tadi." kata Risa dengan kesal.
"Iya, aku juga tau. Tapi nggak usah di lempar juga handphonenya."
"Terus mau gimana?" tanya Risa mulai pasrah.
"Bagaimana kalau kita kunjungi saja rumahnya langsung. Lu tau kan rumahnya?" usul Diara.
"Tau sih. Tapi entah mengapa, gua punya firasat buruk soal ide lu tadi." kata Risa.
"Firasat? Udahlah kagak usah dipikirin." kata Diara.
"Gimana ya?" Risa masih merasa kurang yakin ingin pergi mengunjungi rumah Ervan.
"Ayo, lu mau ketemu dia kan?" tanya Diara.
"Iya, sih." jawab Risa.
"Makanya, ayo." ajak Diara, membuat Risa tidak mempunyai pilihan lain.
"Woi, Woi, Woi. Tunggu dulu!" kata Caca, tidak ingin kedua sahabatnya bertingkah aneh.
"Oke, ayo lah."
"Hei, kita kan gak tau apa yang sedang terjadi di rumah Ervan. Mungkin sekarang dia gak mau diganggu." kata Cac.
"Kalo dia gak mau diganggu, harusnya dia gak ganggu kita dulu. Iya kan Risa?" tanya Diara kepada Risa.
"Betul. Ayo Diara." ajak Risa yang tiba-tiba menjadi semangat, lalu menarik tangan Diara menuju ke lantai dua, ke kamarnya untuk mengganti bajunya.
"Aduh, dasar itu dua anak. Bener-bener kepala udang," kata Caca, tidak tahu harus apa kepada kedua sahabatnya itu.
"Tunggu Woi. Gua ikut." lanjut Caca lalu mengejar mereka di lantai dua.
Tak lama kemudian, Risa, Caca, dan Diara sudah mengganti baju mereka dan siap untuk berangkat ke rumah Ervan. Saat tiba-tiba sebuah telepon masuk dari handphone Risa yang masih terletak di meja makan.
"Eh, hp siapa itu yang bunyi?" tanya Diara, mencoba mencari sumber suara.
"Kayaknya bunyinya dari dapur deh." kata Caca.
"Oh, kayaknya itu punya aku deh." jawab Risa.
"Mungkin itu dari ibumu." kata Caca.
"Ya, mungkin. Aku akan coba lihat dulu." kata Risa lalu berjalan menuju dapur, menuju tempat terakhir ia meletakkan handphonenya, diikuti oleh kedua sahabatnya.
Risa mengambil handphonenya dan melihat dari siapa itu.
"Dari siapa itu?" tanya Caca, penasaran.
"Da-dari Ervan." jawab Risa dengan ekspresi wajah terkejut.
"Kenapa diam aja? Angkalah! Siapa tau dia mau jelasin soal pesannya tadi." kata Diara, menyarankan.
Risa menelan ludahnya. Sejujurnya Risa agak takut akan kenyataan apa yang akan dibawakan oleh Ervan. Tapi karena terlalu penasaran, Risa mengangkatnya.
Risa meletakkan handphonenya di telinganya dari situ, ia bisa mendengar suara Ervan yang terdengar berat.
"Halo?" kata Risa, tidak tahu harus memulainya dengan apa.
"Risa," terdengar suara Ervan dari situ, membuat Ervan gemetaran karena gugup. Llu Ervan berkata dengan lantang, "Kita putus!" katanya, membuat Risa terkejut habis-habisan.
"H-hah?"
"Kau dengar kan? Kita putus!" ulang Ervan.
Karena melihat mata Risa yang mulai berkaca-kaca, Diara dan Caca mulai curiga.
Dengan paksa, Diara mengambil handphone Risa.
"Kau dengan kan? Kita putus!"
"Hah?! Apa kata mu?" tanya Diara dengan nada sangar, membuat Ervan kaget.
"Di-Diara?"
"Ya, napa emang?" tanya Diara dengan amarah yang meluap-luap. "Apa maksud lo mutusin Risa sembarangan? Emang ap alasan-"
Belum selesai Diara berbicara, Ervan sudah mematikan handphonenya, membuat Diara bertambah kesal. Diara mengembalikan handphone Risa kepadanya.
"Ada apa Dir?" tanya Caca.
"Dasar bocah kurang ajar!" bentak Diara lalu ia meninggalkan Risa dan Caca.
"Lu mau kemana?" tanya Caca.
"Gua mau ke rumah Ervan dan bertanya langsung ke anaknya." jawabannya dengan wajah menakutkan, bahkan membuat Caca khawatir.
"Mau lu apain anak orang?" tanya Caca, khawatir.
"Gua mau melampiaskan semua amarah gua kepadanya." jawab Diara.
"Yang pacaran sama Ervan kan Risa. Bukan elu dan yang seharusnya marah adalah Risa."
"Bodo amat. Lagian, gua gak suka sahabat gua diperlukan seperti itu."
"Tapi."
"Lu juga marah kan?!"
"Iya sih. Tapi…"
"Gua juga ikut." kata Risa.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Caca.
"Ya, gak papa. Aku ingin ke sana dan bertanya langsung di depan orangnya. Kalau hanya ditelepon tidak akan menjelaskan apapun." jawab Risa.
"Nah, gitu sahabat gua. Ayo, kita pergi." kata Diara penuh semangat lalu menarik tangan Risa.
"Tunggu!" kata Risa, membuat Diara menghentikan langkahnya. "Rumah Ervan lumayan jauh dari sini. Akan lama kalo jalan kaki."
"Terus mau naik apa?" tanya Diara l
"Kita naik mobil." jawab Risa lalu berjalan keluar, menuju lantai dua.
"Lah? Siapa yang bawa?" tanya Caca.
"Kak Bagas." jawab Risa lalu berlarian menuju kamar kakaknya.
"Aku harap dia gak papa." kata Caca di dalam hati.
Sesampainya di kamar kakaknya, Risa membanting pintunya keras-keras, membuat Kak Bagas yang sedang bermain game online di komputernya, terkejut.
"Woi! Apa-apaan ini?" tanyanya.
"Kak, tolong anterin aku ke rumah Ervan." pinta Risa.
"Hah? Ngapain coba?" tanya Kak Bagas sambil melepaskan headsetnya.
"Tolong kak, ini darurat." pinta Risa, memohon-mohon kakaknya.
"Masa bodo, gua males." sengit Kak Bagas.
"Tolong kak."
"Inikan hari libur jangan ganggu gua deh. Cepet keluar sana." bentar Kak Bagas.
Risa mnendang kursi gaming kakaknya, memojokkannya, dan menantang tajam ke arah Kak Bagas.
"Tolong kak, ini penting. Akan aku lakukan apapun deh." kata Risa, memohon-mohon. "Buat apa sih? Penting amat kayaknya." tanya Kak Bagas.
"Ya, ini penting. Kalau tidak cepat aku akan kehilangan Ervan." jelas Risa, membuat Kak Bagas tertawa lalu bangkit dan mendorong tubuh Risa ke belakang.
Risa kesal, tidak mencegah kakaknya untuk pergi ke mana-mana.
"Emangnya apa yang terjadi pada Ervan?" tanya Kak Bagas mulai penasaran.
"Aku gak tau. Tapi tadi dia menelponku dan tiba-tiba saja memutuskanku."
"Hah?! Kok bisa? Lu ngapain Ervan?"
"Tolong jangan menfitnah aku dulu."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Aku juga gak mengerti. Itu mengapa aku akan coba pergi ke rumahnya dan bertanya langsung kepada orangnya."
"Dan kau mengekpektasikan orang yang baru saja memutuskanmu, mau menerimamu masuk ke dalam rumahnya?" tanya Kak Bagas, membuat mata Risa berkaca-kaca.
"Jangan cengeng. Mungkin memang Ervan sudah bosan dengan elu atau memiliki alasan lain." lanjut Kak Bagas, membuat air mata Risa tumpah.
"Hah…" Kak Bagas menghela nafas. "Oke, oke. Gua anterin. Tapi abis itu jajanin gua es-krim yah," katanya lalu mendorong Risa. "Ayo secepat."
"Baik, baik."
Risa menghapus air matanya dan mengikuti kakaknya dari belakang. Setelah berhasil membujuk Kak Bagas, Risa, Diara, dan Caca pergi ke rumah Ervan dengan mobil yang dibawakan dengan Kak Bagas.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka telah sampai di rumah Ervan. "Tuh, udah sampe. Di sinikan tempatnya?" tanya Kak Bagas.
"Iya, makasih Kak." kata Risa sebelum meninggalkan kakaknya seorang diri di dalam mobil.
"Eh, tunggu," kata Kak Bagas, membuat Risa menghentikan langkahnya. "Gua akan parkir di ujung gang sana. Lu jangan bilang gua yang nganterin kalian ya." katanya.
"Oh, oke." jawab Risa lalu pergi dan meninggalkan Kak Bagas. Risa, Diara, dan Caca melangkah menuju gerbang rumah Ervan yang besar itu. Tetapi sesampainya Risa di depan pagar, ia malah merasa gugup dan terdiam sambil memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
"Wihh, gila. Rumahnya gede juga." kata Diara.
Akhirnya Risa menarik nafas panjang dan memberanikan diri untuk menekan bel rumah Ervan. Tapi tak ada jawaban.
"Ini bener rumah Ervan kan?" tanya Caca.
"Iya, bener kok. Gua udah ke sini abisnya." jawab Risa.
"Coba lagi." kata Diara. Risa pun mencobanya lagi. Tapi jawabannya tetap sama.
"Mungkin mereka lagi pergi." kata Caca.
Lalu, datanglah seorang ibu-ibu yang sepertinya baru saja keluar dari rumah Ervan dari semafam pintu belakng. Risa memanggil ibu itu. "Permisi, Ibu.” ujar Risa, membuat ibu itu menoleh. Tapi ibu bukannya, mendatangi Risa dan bertanya, ibu itu malah tampak tak takut dan mencoba untuk melangkah pergi. Risa pun tidak menyerah. Ia mencoba mengejar ibu itu.
“Ibu, maaf,” kata Risa, menghalang jalan ibu itu, membuat ibu itu tak bisa ke mana-mana. "Maaf Bu, saya cari Ervan. Benarkan ini rumahnya?" tanya Risa.
"Ervan? Mungkin kalian salah rumah." jawab ibu itu dengan pandangan takut. Ibu itu bahkan tak melihat langsung wajah Risa.
"Saya pacarnya Ervan dan saya ingin tau-" kata Risa.
"Pacar?" tanya ibu itu yang tampak tidak terlalu terkejut, membuat Risa jadi bertambah penasaran .
"Iya, jadi tolong biarkan saya masuk." pinta Risa.
“Membiarkan kau masuk?”
“Iya. Ibu bekerja di sini bukan?” tebak Risa.
"Saya memang bekerja di sini. Tapi seperti yang saya bilang tadi, kalian salah rumah." kata ibu itu lagi.
"Tapi Bu, saya sangat yakin rumahnya di sini."
"Oh, ya? Tapi saya tidak pernah mengenal orang yang bernama Ervan. Lagipula saya masih ada urusan. Jadi per-"
"Tunggu Bu! Saya punya bukti," kata Risa lalu mengambil handphonenya dan menuju sebuah foto kepada ibu itu. "Ini Bu, foto saya dan Ervan tepat di depan rumah ini." katanya sambil menunjuk foto tersebut.
Ibu itu memerhatikan fotonya baik-baik. "Maaf, tapi-"
"Ibu siapanya rumah ini? Pemilik kah?" tanya Caca, yang baru datang, membuat perkataan ibu itu terpotong.
"Bukan. Saya hanya pembantu rumah tangga." jawab ibu itu.
"Kalau begitu, Ibu tidak punya hak untuk mengusir kami." sengit Caca.
"Woi, Caca." bisik Diara, mencoba menghentikan sikap bar-bar Caca.
"Apa yang kau bilang?" tanya Ibu itu.
"Tolong, setidaknya biarkan kami bertemu dengan pemilik rumah ini." kata Caca.
"Tuan saya tidak akan menyukai ini."
"Tolong!" pinta Caca, agak memaksa.
"Kalian cepetlah pergi. Kalo enggak, saya akan panggilkan satpam dan memintanya untuk mengusir kalian dari komplek ini." ancam ibu itu.
"Caca, ayo kita pergi aja." ajak Risa.
"Tapi-"
"Udah. Kita coba lain waktu aja." ajak Risa sambil menarik tangan Caca.
"Apa yang kau lakukan? Bukankah kamu mau ketemu Ervan?" tanya Cac, berbisik di telinga Risa.
"Iya, emang. Tapi kalau keadaannya begini, bisa-bisa kita gak akan ketemu dia lagi." bisik Risa.
"Mending kita tunggu aja ampe besok senin, pas di sekolah." usul Diara.
"Lah?! Tadi perasaan lu yang ngusulin ke sini. Sekarang malah ngajakin pulang." ejek Caca.
"Biarin." kata Diara lalu meninggal mereka berdua.
"Permisi Bu. Terima kasih." ujar Risa dengan sopan kepada ibu itu dan meninggalkannya, balik ke mobilnya.
"Kau udah baik-baik saja?" tanya Caca kepada Risa yang tampak murung.
"Ya, mungkin. Aku sendiri gak tau." jawab Risa.
"Tenang aja. Aku yakin masih ada laki-laki lain yang lebih baik untukmu." kata Caca mencoba menceriakan Risa.
Risa tersenyum dan berkata, "Terima kasih."
"Woi, yang di belakang sana, cepetan!" teriak Diara yang sudah berada di belakang mobil.
"Iya-iya. Ayo, Ca." ajak Risa.
Di dalam mobil, Kak Bagas yang sedang sibuk bermain game di handponenya, kaget dan tidak mengekpektasikan Risa, Diara, dan Caca balik secepat ini. "Lah? Kok udah pada balik? Udah ketemu belum sama Ervan?" tanya Kak Bagas.
"Hah," Diara menghela nafas. "Belum." jawabnya.
"Lah?! Napa? Gua udah bela-belain nganterin kalian sampe sini. Pas udah nyampe malah kagak ketemu dia," ejek Kak Bagas, jengkel. "Kenapa emang, orangnya gak ada di rumah?" tanyanya.
"Gak tau tuh." jawab Risa.
"Kok gak tau sih? Udahah, males ngomong ama orang kayak lu."
"Maaf." kata Risa.
"Maaf, maaf. Gua gak akan pernah ngaterin lu ke mana-mana lagi." ketus Kak Bagas lalu mengemudikan mobil pulang ke rumah.
Sampai di rumah, Risa langsung berlarian menuju ke kamarnya, membuat Kak Bagas yang tidak tahu keadaannya, bingung dan bertanya, "Kenapa sih itu anak?"
"Udahlah Kak, biarlah aja." jawab Diara.
"Dia lagi mengalami masa-masa yang sulit."
"Emm, gitu." Kak Bagas mengeluarkan handphonenya.
"Oke, makasih ya Kak, udah nganterin kita." ucap Diara sambil turun dari mobil.
"Terima kasih." kata Caca.
Kak Bagas sudah sibuk sendiri dengan handphonenya. Tapi bukan untuk bermain game, untuk mengecek kondisi handphone Ervan.
"Bener ternyata," katanya sambil melihat sesuatu di handphonenya. "Handphone Ervan mati. Apa ini cuma prank doang? Nelpon Risa soal putus lalu mematikannya supaya tidak ada yang bisa menanyakan padanya langsung. Tapi kenapa dia melakukan semua ini? Emang sih Risa ada salah apa dengannya? Gua jadi penasaran nih." pikirnya di dalam hati.
ns 18.68.41.141da2