209Please respect copyright.PENANAXgqat33xgO
Malam harinya, di rumah Bian, Bian yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya di dalam kamar, tiba-tiba mendapat sebuah telepon dari nomor yang ia tidak kenali. “Siapa ini?” tanya Bian sambil mengambil handphonenya, lalu ia memperhatikan nomor orang yang nelponnya. “Haruskah gua mengangkatnya?” tanyanya kembali di dalam hati. Setelah beberapa saat berpikir, Bian pun memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.
“Halo!” terdengar suara seseorang yang tidak asing di telinga Bian.
“Ini gua Chandra.” Bian terkejut mengetahui bahwa orang yang menelponnya adalah Chandra.
“Chandra?” tanya Bian melalui telepon. Suaranya tampak terkejut.
“Iya, ini gua.” jawab Chandra melalui telepon.
“Dari mana lu dapat nomor gua?”
“Ceritanya panjang dan terlalu ribet menceritakan lewat telepon.”
“Lalu ada apa lu telepon gua malam-malam? Selama ini lu sama sekali belum pernah nelpon gua.”
“Gua butuh bantuan lu.”
“Kalau minta bantuan aja lu nelpon. Kalau nggak, mana pernah”
Terdengar suara Chandra menghela nafas.
“Gua sudah ada dugaan siapa itu sih dalang.”
“Hah?! Beneran?”
“Iya. Tapi lu nggak mau tahu nggak apa-apa. Gua bisa meminta bantuan orang lain” “Nggak, nggak, nggak, gua mau bantu.”
“Bagus deh kalau begitu.”
“Lagian, emang siapa yang bisa lu minta bantuan selain gua. Lu kan orangnya itu introvert.”
“Jangan remehkan orang introvert seperti gua.”
“Iya-iya. Minta bantuan apa?”
“Sebelum itu, bisakah memainkan CCTV?”
“Memainkan? Maksudnya?”
“Maksudnya nyalain CCTVnya, maju, mundurin hasil rekamannya gitu.”
“Oh... kalau itu mah gampang.”
“Gua butuh bantuan lu terhadap itu.”
“Emang lu nggak bisa?”
“Kalau gua bisa mah gua minta bantuan elu.”
“I-iya juga sih.”
“Itu saja yang harus gua bantu?”
“Oh, sama satu lagi.”
“Apa itu?”
“Bisakah lu datang jam 6.30?”
“Hah?! Jam 6.30? Pagi bener. Mau ngapain? Orang-orang kan belum datang.”
“Itu malahan yang gua mau.”
“Hah?!”
“Udah, datang aja.”
“O-oh, oke. Tapi tunggu sebentar, hari ini lu ke mana? Kenapa tidak masuk?”
“Oh, hari ini, gua ada urusan sebentar.”
“Urusan macam apa itu?”
“Adalah.”
“Eh, lu tahu gak sih, lu itu jadi dimusuhin satu sekolah gara-gara lu dikira pembunuhnya Danis.”
“Oh, ya udah.”
“Jangan tidak peduli begitu dong. Kalau video itu tersebar lebih luas bisa-bisa mendapat masalah.”
“Gua tidak membunuh Danis kok. Jadi untuk apa gua harus panik?”
“Gua paling benci sikap lu yang ini. Padahal gua itu mengkhawatirkan lu seharian tahu.”
“Kenapa lo harus mengkhawatirkan gua?”
“Ya - Itu-”
“Tapi ngomong-ngomong, video apa ya lu maksud?”
“Oh iya, lu kan belum tahu ya. Coba lu buka website sekolah.”
“Gua enggak masuk website gitu-gituan.”
“Hah?! masa sih?”
“Terserah lo mau percaya apa tidak.”
“Ya udah, akan gua kirimkan videonya pake nomor ini.”
“Oke, gua matiin teleponnya ya. Selamat malam.” Lalu Chandra menutup teleponnya, sebelum Bian bisa menjawabnya.
“Ma-malam.” Setelah selesai menelpon Chandra, Bian menghela nafasnya berkali-kali.
“Buset, gua belum ada jawab udah di mattin aja teleponnya.” keluh Bian lalu ia segera mencari video tersebut dari website dan mengirimnya ke Chandra. Setelah beberapa saat ia menchatting Chandra.
Bian: Bagaimana, sudah lu nonton videonya?
Namun, sudah 5 menit berlalu setelah Bian menchatting Chandra, belum juga ada jawaban.
“Ih, dasar nih orang,” keluh Bian lalu membanting handponenya ke atas kasur.
“Aduh, kalau gini aja minta bantuan gua,” lanjutnya sambil mengambil pulpennya yang terjatuh di lantai. “Jam 6.30? Pagi benar yah. Aduh, kalau gini mah, gua nggak bisa begadang,” kata Bian lalu perlahan bangkit dari kursinya.
“Ya udahlah, selesaikan tugas ini dulu, setelah itu tidur.” lanjut Bian.
209Please respect copyright.PENANAv6OvVckpsT