Bel istirahat berbunyi. Dan seperti biasa, murid-murid berebutan keluar kelas untuk sampai di kantin duluan. Reva yang mendengar bel berbunyi, segera merapihkan barangnya lalu bangkit dan mengunjungi meja Chandra.
“Ayo kita ke perpus.” ajak Reva yang tiba-tiba, dengan beraninya, menghampiri Chandra dan mengajaknya makan bersama.
Chandra yang sedang menulis catatan pelajarannya, kaget. “Hah?!”
“Jangan gitu ‘Hah’, gitu dong. Kitakan udah hampir seminggu melakukan rutinitas ini.” kata Reva.
“Rutinitas? Bukan begitu maksudnya.” kata Chandra sambil melihat sekeliling.
“Lalu?” tanya Reva penasaran.
“Lu nggak takut makan ama gua?” tanya Chandra.
“Ngapain takut? Lu kan nggak makan gua.” canda Reva. Chandra menepuk jidatnya. “Bukannya gitu.” kata Chandra, memalingkan mukanya.
“Udahlah, gua nggak peduli sama orang lain. Mau mereka ngejeklah, menggosipi gua, gua enggak takut. Lu juga begitukan?”
“Selalu. Tapi gua nggak pernah dan gak mau bawa-bawa orang lain ke dalam masalah gua,” kata Chandra lalu kembali melihat sekeliling dan kembali berkata, “Lagian, kembaran lu nggak marah?”
Tak sadar, ternyata Bian telah mendengarkan percakapan mereka.
“Gua punya nama tahu.” ketus Bian, yang sudah berada di sana dari tadi dan mendengarkan semuanya, sambil bersembunyi di belakang Reva, membuat Chandra benar-benar terkejut dan sampai menjatuhkan pulpennya ke lantai. Bian mengambil pulpen yang terjatuh tersebut. Lalu mengembalikannya kepada Chandra, sambil berkata, “Gua nggak marah kok. Mungkin hanya bingung saja.”
“Bingung?” tanya Reva.
“Kok lu bisa berteman dengan Reva. Padahal selama ini yang gua tahu, Reva susah banget didekati.” tanya Bian kepada Chandra.
“Ceritanya panjanglah.” jawab Chandra sambil memainkan rambutnya.
“Kak, tahu nggak, Chandra juga suka membaca novel detektif pintar itu.” kata Reva kepada Bian.
“Oh... jadi itu alasannya.” kata Bian lalu menghampiri Chandra dan memukul pundaknya sambil berkata, “Baguslah kalau begitu. Tolong jaga adik gua baik-baik ya.”
Chandra merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Ia berdiri dan mencoba untuk pergi. “Maaf, aku harus pergi dulu.” katanya sambil memeluk erat-erat novel kesayangannya.
Namun, Bian menghentikan. “Jangan pergi seenaknya kalau orang lain lagi ngomong.” Chandra diam, tak merespon apapun. “Woi! Jawab dong!” pinta Bian. Gerald yang ada di belakang mereka sedang duduk sambil mengerjakan tugasnya, bangkit dan berkata, “Udah, nggak usah dipikirin anak nggak guna kayak gitu,” membuat Bian, Reva, dan Chandra membalikan badannya. Gak ada yang bisa diharapkan dari orang itu.” ejeknya. Chandra membuang mukanya lalu berlari keluar meninggalkan kelas.
“Cih, dasar penakut.” kata Gerald lalu kembali duduk di kursinya.
Reva mencoba mengejar Chandra. “Kagak usah dikejar.” larang Gerald. Namun, Reva tidak mendengarkan. Ia terus berlari keluar kelas, mencoba mengejar Chandra. “Dibilangin nggak mau dengerin.” sengit Gerald.
“Eh, apa masalah lu sama Chandra?” tanya Bian dengan muka marah. Bian merasa sangat marah, ia ingin sekali berteriak dan memukul Gerald tepat di mukanya. Namun, sebelum ia sempat melakukan hal tersebut, Gerald berkata, “Kenapa? Lu marah? Emangnya dia siapanya elu? Teman aja bukan.” membuat amarah Bian mereda. Ia tahu kalau ia bukanlah teman Chandra dan tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Bian menarik napasnya dan mencoba meredakan emosinya. Lalu, tiba-tiba, “Bian, jajan yuk.” ajak Raja.
Bian membalikkan badannya dan menjawab, “Eh, i-iya.”
“Jawaban yang tetap.” ujar Gerald, membuat Bian, lagi-lagi memandangnya dengan penuh amarah. “Mending lu ngurusin diri lu sendiri dulu, baru anak itu.” katanya lagi.
“Bia, ikut gak?” tanya Raja lagi.
“Iya-iya.” jawab Bian lalu meninggal kelas bernama Raja dan teman lainnya.
260Please respect copyright.PENANAts4nqNVGAr
Sementara itu, Reva masih mengajarkan Chandra, walaupun sebenarnya, ia tak tahu di mana Chandra berada. Reva berhenti dan beristirahat sejenak, sambil berpikir di mana Chandra berada. “Aduh... di mana sih?” tanyanya dalam hati.
Lalu tiba-tiba ia menyadari sesuatu, “Astaga, kenapa gua nggak mikirin ini dari tadi?” Lalu, Reva yang sudah yakin kembali berlari dan sekarang dengan tujuan. Ia berlari menuju perpustakaan, tempat di mana menurutnya Chandra berada. Dan ternyata benar, Chandra ada di dalam, sendiri dan tampak sedih. Tanpa berpikir panjang, Reva langsung masuk dan menghampiri Chandra.
“Lu nggak papa?” tanya Reva, lalu duduk di sebelah Chandra yang sedang membaca buku sambil memakan snack bar.
Chandra yang agak terkejut, menoleh. Namun, tak menjawab apapun, membuat Reva harus mengulangi pertanyaannya. “Lu nggak papa?” tanyanya lagi.
Chandra menghela nafas dan menjawab, “Gua udah sering dikatain begitu. Jadi lu nggak perlu khawatir.”
“Tapi lu kelihatan sedih.”
“Ini emang wajah gua tiap-tiap hari.” jawab Chandra, membuat Reva agak malu.
“Terus kenapa lu lari?” tanya Reva.
“Gua hanya nggak mau ngebawa lu dan Bian dalam masalah gua.” jawab Chandra agak tersipu. Ia pun membuang mukanya supaya tak dilihat oleh Reva.
Reva tersenyum lalu menggenggam tangan Chandra yang ada di atas meja dengan kedua tangannya dan berkata, “Gua nggak masalah dan nggak keberatan dengan hal itu. Gua juga yakin Bian tidak merasa begitu.” mendengar itu Chandra langsung melepaskan tangannya yang digenggam oleh Reva lalu menutup bukunya yang ia sedang baca, dan bangkit, sambil berkata, “Tapi gua yang keberatan. Jangan sampai lu menjadi musuh sekolah yang baru lu masukin,” katanya dengan pandangan tajam. “Gue laper. Gua mau ke kelas dulu.” lanjutnya, lalu tanpa menunggu apapun, melangkah pergi. Reva yang merasa kecewa tak bisa melakukan apapun. Ia duduk di perpustakaan sambil berpikir.
ns 15.158.61.20da2