“Baiklah, kita akhiri pelajaran memasak kita hari ini.” kata Risa kepada seluruh anggota ekskul memasak, lalu kembali ke mejanya, yang berada di belakang.
Lalu Bu Vera yang berada di pojokan kelas dan yang dari tadi hanya menonton bangkit dari kursinya dan berkata, “Tapi sebelum pulang, jangan lupa membantu Risa dan yang lainnya memberaskan ruang ini!” pintanya. “Nanti tugasnya akan di bagikan oleh Kak Caca.” lanjut Bu Vera sambil mengarahkan pandangannya ke Caca, yang duduk di sampingnya.
Caca bangkit dan mengambil buku absen dari dalam tasnya. “Untuk anggota lama, tugasnya seperti biasa. Sedangkan anggota baru, kalian tolong bantu ya!” pinta Caca.
Ini sudah sebulan semenjak ekskul memasak tahun ini diadakan dan ini sudah pertamuan ke 5 mereka. Anggotanya pun sudah bertambah 15 anggota dan sudah memperoleh 5 anggota baru.
“Ahhh, senangnya.” gumam Risa, membuat Caca yang sedang menyapu membentaknya.
“Seneng? Seneng apanya? Kita itu belum sepenuhnya menyelesaikan tugas kita-” celetuknya, yang sudah dicela oleh Risa.
“Tenang saja. Gua gak akan kabur kok. Nanti gua selesai tugas menyapu ini.” katanya, salah pemahaman.
“Bukan nyapunya BAMBANG!” seru Caca, emosi, membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu memandangnya dengan bingung.
“Woiii, selow aja kali.” kata Diara, membuat Caca begitu malu.
“Jadi maksud kamu apa tadi?” tanya Risa.
“Maksudnya tentang anggota kita. Anggota ekskul ini kan baru terkumpul 5 orang.” jelas Caca, membuat Risa tersadar.
“Ohhhh, iya. Berarti masih kurang 5 orang lagi, ya?” tebak Risa.
“Iya. Mana tinggal 1 bulan lagi.”
Diara yang menguping pembicaraan Risa dan Caca dari tadi, tiba-tiba ikut. “Tenang aja. Masih lama kok.” katanya.
Caca memandangnya penuh amarah. “Jangan menyepelakan seperti itu dong. Nanti akhirnya kitalah yang akan menyesal.” nasehat Caca.
“Iya-iya,” kata Diara lalu meletakan sapunya. Kemudian kembali ke pembicaraan. “Tapi siapa lagi yang harus kita aja? Dan tehnik apa lagi yang harus kita pake?” tanya Diara.
“Gua tau." celetuk Syamil.
Risa, Diara, dan Caca membalikan badannya, menuju ke arah Syamil, yang berada di belakang mereka bertiga.
"Ikutan aja lu bocah." ejek Diara.
"Umur kita cuma beda 1 tahun doang, Kakak!" seru Syamil.
“Najis.” batin Diara.
"Terus apa ide lu?" tanya Caca.
"Kenapa gak kita gunakan keberadaan Ervan dan Risa." jawab Syamil.
"Maksudnya?!" tanya Risa, membentak.
"Maksudnya, sebentar lagikan sekolah kita akan mengadakan festival, yang di mana akan di tampilkan semua ekskul. Jadi jika kita bisa membuka stand makanana, mungkin akan banyak yang tertarik." jelas Syamil.
"Stand makanan? Kayaknya biayanya mahal deh." kata Diara.
"Loh? Emangnya biayanya di tanggung sendiri?" tanya Syamil.
"Ya iyalah. Standnya sih gratis, tapi bahan-bahan makanannya, gas, kompor, dan alat-alat masak yang lain, kan enggak." kata Diara.
"Berarti, tahun kemarin, ekskul ini juga gak ikutan?" tebak Syamil. Risa mengangguk.
"Tapi kan masih 2 minggu lagi. Kalau kita patungan mulai dari sekarang, gua yakin biayanya akan terpenuhi. Lalu alat-alat masaknya bisa kita ambil dari sini.”
“Jadi maksudny mempromosikan?” tebak Caca.
“Tapi lu tau kan, kalo hanya jualan makanan doang yang lain juga bisa?” tanya Diara.
“Heem, benar. Jualan makanan sudah hal yang biasa di festival sekolah kita.“ kata Syamil.
Lalu apa rencana lu untuk membuatnya lebih unggul?” tanya Risa.
“Makanan yang enak?” tebak Cara.
Syamil tersenyum dan menjawab, “Makanan enak itu wajib, tapi yang tidak di punyai oleh orang lain adalah mereka berdua.” katanya sambil menunjuk Risa dan Ervan.
“Hah? Kita!?” tanya Risa dan Ervan.
“Iyalah. Coba kalian bayangkan, makanan yang dimasak langsung oleh peremuan tercantik dan laki-laki terganteng di sekolah. Bukannya itu ide yang bagus?” jelas Syamil, membuat Risa dan Ervan saling pandang.
“Di masak langsung? Jadi maksudnya jualannya bukan makanan yang udah jadi?” tanya Diara.
"Kalau begitu mah, terlalu biasa." jawab Syamil.
"Terus apa hubungannya gua dan Ervan?" tanya Risa.
"Itu artinya, kitalah yang menjadi umpan dalam penarik perhatian para pelanggan." tebak Ervan.
"Betul sekali," kata Syamil lalu berjalan kearah wastafel dan mengambil wajan. "Nanti kita juga akan buat semacam atraksi untuk menarik perhatian lebih banyak." lanjutnya sambil memperagakan atraksi yang ia maksud.
"Hmmm…" Risa berpikir.
"Itu bukan ide yang terlalu buruk sih." kata Diara.
"Tapi kalau cuma Risa dan Ervan doang yang masak, kita pada ngapain? Bengong?" tanya Caca.
"Enggak. Ide gua bukan hanya sekedar mendirikan stand makanan saja. Tapi akan membuka semacam kafe." jawab Syamil, membuat yang lain bertambah bingung.
"Kafe?" tanya Caca, tidak mengerti.
"Iya. Nanti di sekitaran stand makanan kita, kita akan menaruh beberapa meja dan kursi untuk para pelanggan duduk. Jika begitu, kita semua bisa ikut dan bukan hanya Risa dan Ervan yang kerja. Nanti, tinggal bagi-bagi tugas aja. Ada yang jadi pelayanannya dan koki." jelas Syamil. Risa dan yang lain pun mulai mengerti.
"Bisa sihh…” kata Risa.
“Terus meja, kursinya, dan hiasan-hiasannya, gimana?” tanya Diara.
“Itu makanya, patungan.” jawab Syamil.
“Berapa?” tanya Caca.
“Bagaimana, minggu ini 20, minggu depan juga 20 ribu?” usul Syamil.
“Emang cukup?” tanya Diara.
“Cukuplah. Kalau semua bayar, setiap minggu kita akan mendapatkan 300 ribu. 2 minggu 600 ribu. Lagipula, hanya bahan makanannya saja yang wajib kita beli. Dekorasinya itu sunnah. Kita bisa bawa sendiri dari rumah, kalau ada yang punya. Lalu, meja dan kursinya kita bisa pinjem dari sekolah.” jelas Syamil.
“Dekorasi apaan? Walaupun punya pun, pasti kan barangnya beda-beda.” kata Diara.
“Gak papa. Kayak taplak meja, tisu, lilin, alat makan, hiasan vas bunga, itu kan pasti salah satu dari kalian punya. Nanti hiasan vas bunganya biar gua yang bawa. Gua punya banyak di rumah. Yang lain gimana?” tanya Syamil pada semua orang yang ada di ruangan itu.
“Kalau begitu, kita bagi-bagi tugas aja,” kata Caca lalu mengambil buku dan pulpen dari tasnya dan kembali lagi. “Sini gua yang nyatet.” lanjutnya.
“Yang lebih penting, uangnya dulu. Kapan kita mau patungannya? Dan siapa yang akan megang uangnya?” tanya Firhan.
“Yang akan megang uang biar Ervan aja. Dia pinter kalau masalah uang. Yah kan, Ervan?” tanya Syamil kepada Ervan yang berada di sampingnya.
“Terserah sih. Tapi, nanti tolong ada yang bantuin gua membeli semua bahannya, ya!” pinta Ervan.
“Iya-iya. Yang udah ada uangnya, bisa langsung bayar. Paling lambat hati jumat ini.” kata Syamil.
“Terus siapa yang jadi apa?” tanya Ervan.
“Gampang. Yang pasti, tiga perempuan ini yang akan jadi kokinya. Yang lain, sesuai bisanya mereka dalam memasak.”
“Jadi kenapa kita dipilih menjadi koki karena kita pinter masak?” tebak Risa.
“Iya. Yang pasti sih, gua dan Ervan yang akan menjadi pelayannya.” kata Syamil.
“Iyalah. Kalo Ervan yang di suruh masak, yang ada masakannya gosong semua.” ledak Alif.
“Oh, gua tau. Nanti pelayannya akan memakai baju seragam gitu. Biar keren kelihatannya.” usul Diara.
“Pake seragam boleh, yang penting gak mahal biayanya dan simpel.” kata Caca.
“Iya, gua tau. Palingan pake seragam putih senin kita, celana atau roknya warna hitam. Nanti gua bawain celemek warna merah dari rumah gua." kata Diara.
"Lu punya?" tanya Risa.
"Punya. Itu sih punya ibu gua. Nanti paling tinggal gua pinjem aja." jawab Diara.
"Yang pasti Ervan dan Risa lah yang harus paling menonjolkan, karena mereka pemain utamanya." jelas Syamil.
"Gua akan coba belajar atraksinya." kata Risa dengan bersemangat.
"Kita akan bantu." ucap Diara sambil melihat ke arah Caca. Caca pun mengangguk.
"Kalau begitu, gua dan Risa yang akan menentukan siapa yang menjadi pelayan dan kokinya. Bolehkan?" tanya Caca pada orang-orang di sekitarnya.
"Ya. Silakan." jawab beberapa orang-orang di sekitarnya.
Caca, Risa, dan Diara pun memilih orang yang akan menjadi pelayan dan kokinya.
Beberapa menit kemudian, setelah ketiga gadis itu selesai menentukan pilihan tadi dan membagikan tugasnya ke masing-masing anggota.
"Firhan dan Alif akan membantu kita memasak. Yang lainnya akan menjadi pelayan." kata Caca menjelaskan.
"Itu berarti, ada 10 pelayanan, ya?" tebak Diara.
"Iya. Betul." jawab Risa.
"Dan sudah di tentukan, siapa bawa apa. Jadi jangan sampai lupa, oke!" kata Caca.
"Sebenarnya masih lama sih. Tapi gak ada salahnya bilangnya sekarang." ujar Risa.
"Nah, sekarang masalahnya tinggal satu." kata Syamil, membuat semua orang terkejut.
"Apa itu?" tanya Firhan.
"Ervan." jawab Syamil sambil menunjuk ke Ervan.
"Gua? Kenapa?" tanya Ervan tidak mengerti.
"Lu yang akan menjadi karakter utama dalam rencana kafe ini dan gua gak mau karakter utamanya dingin dan cuek kepada pelanggan."
"Jadi maksudnya, gua harus berpura-pura bersikap manis dan hangat kepada para pelanggan?" tebak Ervan.
"Tepat sekali. Kalau lu dapat melakukannya, itu akan memudahkan kita. Pertanyaannya, apakah lu bisa?" tanya Syamil pada Ervan.
"Tenang aja, gua akan membantu dia." kata Risa lalu berjalan kearah Ervan dan menyenggol Ervan dengan senyuman manis.
"Bagus kalau begitu. Artinya semua sudah lengkap dan sudah direncanakan." kata Caca.
"Kalo gitu, kita sekarang boleh pulang?" tanya Alif.
"Iya. Boleh sana." jawab Caca.
"Oke, kalo gitu," Alif mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. "Ayo, Fir. Kita pulang!" ajaknya.
"Iya-iya, tunggu!" kata Firhan, tidak mau kalah.
Tak lama kemudian pun ruangan tersebut sudah sepi. Yang tersisa hanyalah tiga gadis itu, Syamil, dan Ervan.
"Kelas sudah bersih. Sekarang ayo kita pulang." ajak Diara lalu menarik kedua tangan sahabatnya.
"Gua akan pulang bareng Ervan. Kalian duluan aja." kata Risa.
"Aduh… so sweet banget sih. Jadi pengen punya pacar lagi." canda Diara.
"Udahah. Gak usah mikirin pacar terus deh. Mending kita pulang," ajak Caca yang sekarang berada di dekat pintu, ingin segera ke luar dan pulang. "Biarkan mereka berdua saja." lanjutnya sebelum meninggalkan ruang itu.
"Woiii! Tunggu!" Diara pun berlari mengejar Caca yang sudah entah ada di mana.
Sementara itu, Risa dan Ervan masih di dalam ruangan, menunggu yang lain pulang.
"Wah, udah sepi nih. Kita juga sebaiknya pulang." ajak Rika lalu mengulurkan tangan kepada Ervan, berharap Ervan akan menggandeng tangannya.
Ervan pun peka dalam hal itu dan segera meraih tangan Risa. Mereka pun berdua berjalan ke luar sekolah sambil bergandengan tangan.
"Oh, ya, tadi kau bilang akan membantu aku. Apa maksudnya?" tanya Ervan kepada Risa.
"Oh, itu. Lusa kan kita libur, boleh gak aku berkunjung ke rumahmu?" tanya Risa, membuat jantung Ervan seketika berdetak kencang.
"Un-untuk apa?" tanya Ervan.
"Kita akan latihan tersenyum dan menyapa orang dengan ramah." jawab Risa.
"Lalu, kenapa harus di rumah aku?" tanya Ervan.
"Gak boleh, ya?" tanya Risa, pura-pura cemberut, agar Ervan kasian kepadanya.
"Bu-bukannya gak boleh. Aku hanya…"
"Iya-iya, aku cuma bercanda kok. Aku mau liat rumah kamu aja. Setiap hari kau selalu antar, jemput aku ke sekolah dan kau juga sudah pernah masuk ke dalam. Jadi sekali-kali gantian dong!" jelas Risa.
"Oh, itu. Boleh sih."
"Tapi kalau emang gak di bolehin sama orang tuamu, aku gak keberatan. Di rumah aku aja juga gak papa."
"Kalau cuma itu gak masalah kok. Lusa nanti, akan aku jemput."
"Beneran gak papa?" tanya Risa, tidak ingin membuat Ervan merasa tidak nyaman.
"Gak papa kok." jawab Ervan.
"Kamu udah pernah tanya sama orang tua kamu?" tanya Risa.
"Udah." jawab Ervan lalu membukakan pintu mobil untuk Risa.
"Makasih." kata Risa kepada Ervan.
Seperti biasa, Ervan mengantarkan Risa sampai rumahnya.
ns 15.158.61.6da2