Perjalanan membawa Desdemona menuju Stasiun Birmingham, dengan mobil dan perasaan sedih Sersan Wintergard.
“A—anda tidak makan siang dulu?” kata pria itu penuh pengharapan.
Pandangan wanita itu masih intens pada ponselnya.
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Karena saya tidak punya waktu.”
Pria itu mengangkat bahunya.
“Saya baru mendengar kali ini seseorang tidak punya waktu untuk makan siang.” Katanya dengan heran.
“Bahkan saya pun tidak. Tapi membawanya di kereta akan menyimpan banyak waktu.”
Pria itu menghela nafas.
“Padahal saya selalu punya persiapan referensi restoran lokal yang enak, hanya untuk saat – saat seperti ini.”
Desdemona menoleh sesaat, wajahnya menatap dengan agak sebal pria botak itu.
“A—apa? Setidaknya saya mencoba jujur.”
“Anda tahu? Saya selalu merasa tidak enak bila menolak. Well, sebutkanlah yang anda tahu?” katanya seolah – olah memberi kesempatan pada pria itu.
“Nah, kebanyakan ada di Ladypool Road. Mulai dari steak, roti isi, sup, kue dan sebagainya,” Tambahnya dengan wajah berseri – seri sambil menoleh pada wanita di sebelanya. “Oh, oh ini yang menarik. Mereka juga punya restoran pakistan, oriental…”
Desdemona mengangguk - angguk seolah – olah ikut senang.
Mobil pun sampai pada stasiun, namun Sersan Wintergard masih bersikukuh dengan penjelasannya.
“Menarik sekali.”
“Jadi, anda mau yang mana dulu?”
“Saya tetap pilih makan di kereta.”
“Setelah semua yang saya katakan itu sia – sia.” Katanya agak kecewa.
Sementara wanita itu telah keluar dari mobil
“Hanya anda yang bilang sia – sia. Terima kasih atas tumpangannya.” Katanya saat di depan jendela mobil.
Pria itu menggeleng – geleng dengan agak cemberut sebelum mobilnya diinstruksikan pergi.
Kini wanita itu telah membeli tiket, sedangkan kereta dalam waktu yang dekat akan berangkat. Langkahnya agak dipercepat pada kantin.
Ia memperhatikan jam tangannya, sambil agak merintih
“Oh tuhan, ini melelahkan.”
Ia menghadap petugas kantin. “Dua roti isi ham, satu isi coklat keju, satu susu strawberry.”
Kereta membawanya dalam beberapa jam menuju Ipswich. Ia duduk dengan nyaman sambil makan siang, untungnya suasana tidak begitu ramai jadi bisa sedikit lebih santai. Serangan kantuk memang seringkali terjadi, namun wanita itu harus tetap terjaga.
Sekitar sejam, kereta itu berhenti pada Stasiun Euston. Lalu tidak lama dari dua puluh menit, ia turun di Moorgate. Di sepanjang matanya agak sayu – sayu, sesekali menguap. Di sekitar Lingkaran Broadgate, segelas piccolo yang katanya dari kedai kopi milik Australia cukup membantu rasa kantuknya sebelum melanjut ke Stasiun Liverpool Street. Kereta yang ditumpanginya langsung menuju Ipswich, setidaknya kali ini ia tak perlu mengkhawatirkan turun – turun lagi.
Sesampainya di stasiun, taksi langsung membawanya menuju Rumah Sakit Ipwich. Bagian asisten informasi medis memberitahunya bahwa orang yang dicari berada pada pintu masuk nomor 12 lantai bawah, namun sebelumya Desdemona telah menanyakan informasi lain. Kemudian ia menuju ruang – ruang rawat inap dari lantai bawah hingga tempat yang katanya VIP untuk mengonfirmasi kehadiran sekaligus pendapat mengenai penanganan. Beberapa ruangan diisi lima atau tiga orang, ada pula yang hanya satu. Bahkan sebagian kecil khususnya bagi orang yang mampu, satu ruangan menyediakan sofa tidur, tempat bermain anak dan TV yang cukup besar.
Berjalanlah kesekian kalinya pada salah satu ruangan, diketuknya pintu dengan ramah. Khawatir Desdemona menganggu ketenangan pasien. Perkenalan yang singkat, iamengatakan seperlunya daripada harus membicarakan secara terbuka.
“Oh dokter muda itu. Saya awalnya agak ragu karena wajahnya sangat galak, dan kami pasrah saja. Tapi perlahan beliau aktif memantau kondisi suami saya dan secara mengejutkan ia sangat ramah.”
Desdemona mengangguk.
“Apa beliau hadir kemarin?”
Wanita yang kira – kira umurnya tujuh dekade itu mengangguk pasti.
“Beliau menyuntikkan insulin, ah sekalian mengganti infus. Bahkan ia peduli terhadap keluhan – keluhan kecil,” tambahnya dengan mendesak. “Pokoknya dia orang yang ulet dan sabar! Tidak seperti dokter – dokter lain yang datang terlambat namun keluarnya sangat cepat! Suami saya bilang punggungnya agak sakit mereka malah bilang ‘bila itu tidak menyiksa, sebaiknya ditahan saja!’ omong kosong macam apa! Jadi tambahkan saja evaluasinya nilai sempurna!”
Desdemona tersenyum ramah.
Kemudian ia melanjutkan langkahnya. Daripada mencari jalur putar, ia lebih baik masuk lewat lorong – lorong yang menyambung sambil memperhatikan sekitar. Beberapa pasien frustrasi karena antrian yang cukup lama, sementara dokter yang dibutuhkan sudah mengakhiri jam kerjanya. Ada juga kakek – kakek yang mengobrol dengan dokter muda lelaki di dekat kantin.
Suasana semakin sunyi mendekati ruang – ruang penyakit komplikasi seperti jantung, paru – paru, lambung dan sebagainya. Banyak sekali lansia yang menunggu dengan damai, sedangkan ada juga beberapa remaja yang mempunyai kelainan sejak lahir atau sekedar obesitas. Begitulah kesan saat Desdemona berkeliling tanpa sadar bahwa ia telah masuk di pintu masuk nomor 12. Namun langkahnya dipercepat ketika ada satu suster berambut pirang kepang keluar dari suatu ruangan.
“Permisi, berapa kira – kira pasien yang sedang menunggu?”
“Sekitar dua lagi.”
“Terima kasih.”
ns 18.68.41.147da2