Wanita itu mengangguk biasa dan membiarkannya lewat. Detektif itu sedang mempersiapkan apapun yang akan dibawa nantinya. Pandangannya sesaat memperhatikan seisi bangunan rumahnya. Gumamnya dengan letih, “Aku akan merindukanmu, Cakey.”
Selang beberapa menit, suara tangga terdengar oleh wanita itu. Pria itu hendak menuju dapur untuk menyiapkan makan siang.
“Anda tidak bekerja, Nona Flemming?
“Bukannya saya barusan menerima pekerjaan?
Detektif itu menunggu lawan bicaranya mengucapkan jawaban yang serius. Direbusnya telur, selada dan tomat.
“Aku mengambil cuti.”
“Anda baik sekali.”
Seketika diisi kesunyian. Seakan – akan hanya terdengar suara kunyahan butter cookies dan buku yang dibalik halamannya. Wanita itu duduknya tegak, kakinya disilangkan, mulutnya tidak berhenti berurusan dengan cemilan gratis yang enak. Mata malasnya ditemani buku majalah is yours yang baru dibeli Cake hari ini saat belanja tadi. Cake yang hampir selesai mengolah urusan perut demi mereka berdua, mengangkat suara yang memecah kesunyian.
“Maafkan saya yang tak punya kursi sofa,” nadanya dengan penyesalan. “Kursi terbaik hanyalah kursi putar empuk yang ada di ruangan atas. Bila anda mau akan saya ambilkan.”
Wanita itu membalas dengan tenang, “Tak usah repot – repot! Tanpa kursi pun, lantai dengan sandaran dinding masih bersahabat.”
Aroma gurih yang tak diduga – duga mengetuk hidung wanita yang tengah menunggu itu. Minyak yang disiratkan wajan dengan suara yang khas, Cake sedang menumis sesuatu. Ia percaya kacang polong, irisan bawang putih dan saus instan menciptakan rasa yang lebih hidup. Dituangkan tumisan itu sebagai isian roti. Selada, tomat dan telur rebus yang telah dicincang sedang menunggu di tumpangnya. Sisa tumisan saus tersebut dipergunakannya untuk dressing.
Setelah makanan telah siap, dibawalah piring tersebut kepada wanita yang menunggunya. Masing – masing porsi enam potong roti isi, agak besar ukurannya. Roman mukanya selalu berseri – seri setelah menyelesaikan seni indahnya itu, begitu pula tidak berbeda jauh dari seseorang yang menantinya. Ditemani dengan teh yang sudah menjadi kebiasaannya, namun wanita itu telah mempunyai pilihannya sendiri. Tidaklah jauh dan merepotkan, hanya memasukkan koin pada mesin berwarna kelabu itu, akan dijatuhkan sekaleng soda segar di siang hari.
“Tisane, huh? Di siang bolong begini?” komentar wanita itu menyiratkan keheranannya.
“Tisane? Saya lebih suka menyebutnya Chamie.”
Wanita itu menghembuskan nafasnya dengan malas, menunggu respon atas pertanyaan yang dilontarkan.
“Ah, saya tak suka membuang – buang bahan. Anda tahu kan? Teh yang tadi masih tersisa.”
“Anda kurang tepat mengatur volumenya.”
“Orang simpel sering menghindari sesuatu yang nanggung. Lagipula lebih praktis membuat banyak daripada, sedikit – sedikit menyalakan kompor?”
Lawannya hanya mengangguk biasa. Percakapan yang sering terjadi untuk mengisi kekosongan. Setelah selesai makan, giliran wanita itu yang membersihkan piringnya. Cake terbiasa menawari makanan penutup, namun wanita itu menolaknya. Cemilan tadi dirasa telah menggantikan peran itu, walaupun telah disantap lebih dulu.
Lalu Cake memanggilnya untuk membicarakan sesuatu.
“Kita akan berkemas.”
“Apa? Sekarang?” roman wajah wanita itu bingung. “Tadi kau bilang malam?”
Balasnya dengan nada kecewa. “Anda seharusnya tidak cepat menyimpulkan, Nona Flemming.”
“Kau selalu saja merepotkan, Moncef! Cepat jelaskan dengan dua kata!”
Pria itu agak kuwalahan kalau wanita itu sudah mengomel.
“Pertama, bekerja. Kedua, Liburan!”
Wanita itu masih mengernyitkan dahinya.
“Oh ayolah, Rachel! Sebelum sesuatu yang besar memandang kita dengan tajam, tidakkah terbesit di pikiranmu untuk liburan?”
Lipatan – lipatan dahi wanita itu mereda. Matanya yang tajam melembut saat itu juga.
“Tidak, setelah otak nakalmu itu yang berpikir,” tambahnya dengan suara merdu. “Lagipula, aku lebih terkejut hal itu datang dari orang yang sering berdalih ‘sesuai prosedur.”
“Memang masih berada di jalur yang teratur. Tapi mendahuluinya sejengkal.”
ns 15.158.61.46da2