Suara ponsel yang bernada gaduh dan bergetar tepat pada waktu langit biru gak gelap yang masih meninggalkan bekas bintang – bintang. Mata malasnya terbuka dengan ringan dan penuh penghayatan, tangannya meraba bagian sandaran kepalanya yang empuk. Senyumannya melembut kemudian berseri – seri. Alas punggung yang empuknya tidak setengah – setengah, posisi kaki yang ruang geraknya luas, bahkan menggelinding dua langkah ke kiri dan kananpun ia tidak akan jatuh.
“Ah, kasur! Aku tidur di kasur!” Katanya dengan senang.
Badannya perlahan – lahan dibangkitkan. Kini suara gemeretak punggungnya tidak terdengar. Ia menggeliatkan tubuhnya sejenak. Lalu meraih ponselnya untuk dihentikan suara gaduh itu. Setelahnya ia melakukan rutinitas biasanya.
Sudah hampir seminggu semenjak kasus tersebut telah dipecahkan. Nyonya Antoinette ingin membersihkan segala sesuatunya, terutama barang milik korban. Wajah pria yang matanya terlihat malas itu akhirnya berseri – seri, rasa rindu pada tokonya memang tidak dibuat – buat. Atau memang pelanggannya mayoritas wanita muda? Boleh jadi istri muda. Kadang – kadang senyumnya mengartikan hal lain selain rasa rindu itu.
Hari ini ia diminta untuk kembali lagi menutup kesimpulan setelah kemarin semua anggota keluarga tersebut fokus pada pemakaman. Terutama mereka butuh waktu untuk melangkah ke depan. Monkey yang teringat akan hal itu saat mandi, tiba – tiba kehilangan minatnya. Wajahnya menjadi kurang bersemangat.
Seperti biasanya ia turun ke lantai dasar, membuka pintu depan namun tanda buka itu tidak diijinkan untuk ditampilkan. Ia membersihkan meja – meja, kursi, dan melakukan pengecekan pada vending machinenya apakah bermasalah atau tidak. Setelah itu ia membuat beberapa kue. Menurut standarnya, sangat tidak tepat bila berkunjung tidak membawa sesuatu seperti oleh – oleh. Karena langit birunya sudah lebih terang, burung – burung yang bertengger di pohon masih tidak banyak, jalanan masih sepi, maka ia masih sempat membuat. Tapi dua hal yang tidak pernah terlupakan. Sarapannya dan Charmomile Tea sudah seperti ritual yang sangat tidak mungkin ditinggalkan di kehidupan normalnya.
Satu hingga dua jam, ia telah membungkus beberapa kue untuk beberapa orang yang berbeda. Ada pula cukup banyak roti isi dan susu sangat. Ia pun sudah mencetak tulisan yang diketiknya selama dua hari kemarin. Bahkan kertas itu telah ditandatangani dan telah dimasukkan dalam amplop yang cukup mewah.
Mobil jepang hitam yang tampak familiar pun datang. Nona Flemming dengan mantel warna krem, rambutnya khasnya red velvet gaya kuncir kuda poni ke arah belakang, membuka pintu mobil. Gaya jalannya sambil membuka pintu layaknya soerang bos. Ia memandang pria yang sedang agak sibuk itu dengan heran.
“Ada apa? Di mana kata – kata ‘Selamat pagi, Nona Rachel?’ yang biasa kau ucapkan dengan ramah?” ia membuka kaca mata hitamnya.
Pria itu menghela nafas.
“Flemming yang benar. Toko ini sedang tutup,” tambahnya. “Apa – apaan kaca hitam itu? Kita tidak sedang ke pantai. Jangan kau pikir ini termasuk bagian dari bersenang – senang.”
Wanita itu duduk dengan tas ditaruhnya. Ia memasukkan koin pada Vending Machine itu.
Diambilnya kaleng berwarna ungu.
Monkey kemudian membawakan roti isi dan susu hangat tepat di meja.
“Pagi – pagi soda? Anda belum sarapan?”
Kaleng itu dibuka.
“Belum. Kenapa?”
“Tch!” tambahnya dengan nada malas. “Makanlah beberapa roti isi sebelum soda itu menabrak dinding lambungmu keras – keras.”
“Soda tidak menabrak, tapi mengintervensi asam lambung dan pelan – pelan meninggi lalu menggerogoti.” Balasnya dengan penjelasan ala dokternya.
Monkey menghela nafas lagi. Wajahnya agak sebal saat nasihatnya ditolak. Bahkan dengan penjelasan oleh seorang yang ahli pada bidangnya.
“Itu tidak membuat perbedaan jauh, kan?”
“Tidak juga, hasilnya tidak sama. Lagipula—”
“Ya, ya baiklah aku mengerti. Hentikan ocehan pelajaran biologi.” Monkey menyela lalu kembali ke belakang untuk urusan bersih – bersih.
ns 15.158.61.20da2