Tak lama, penutup yang cukup mewah di pagi hari itu telah siap. Dengan sikap elegan, badannya tegak ala pelayan restoran perancis. Dihidangkanlah Pumpkin Pudding berukuran sedang, dengan saus coklat menuruni permukaan dengan lembut, genangannya memunculkan hasrat kenikmatan bagi mulut yang dimasukinya.
Wanita itu matanya berkilauan, mulutnya sedikit melongo, roman wajahnya berseri – seri. Namun tak lama setelah pria itu menjatuhkan strawberry tepat di pucuk pudding tersebut.
“Aku mendengar strawberry itu habis, Moncef?”
Pria itu tidak menggubris. Ia duduk dan mulai memotong karyanya. Pupilnya melebar, dengan senyum takjubnya menyiratkan kepuasannya mengubah sisa bahan menjadi elegan.
Wanita itu sesaat mengabaikan pudding jerih payahnya. Ia mencubit ringan pipi pria itu, menunggu reaksinya.
“Ah, anda jangan terburu – buru, Nona Flemming.” Balasnya kembali dengan sikap formal dan penuh keramahan.
“Tapi aku melihat strawberry?”
Pria itu memasukan benda kenyal nan menggoda itu ke mulutnya dengan penuh percaya diri.
“Ah, aku juga melihatnya. Anda memang tak salah lihat.”
“Oh begitu? lalu bagaimana dengan strawberry puddingku?”
“Nah, nah milady,” ucapnya dengan ramah. “Bahkan anak kecil pun tahu tidaklah mungkin, dengan dua buah bisa menghasilkan pudding berukuran sedang.”
Wanita itu terdiam dengan sebal atas alasannya yang cukup bisa diterima. Ia mengesampingkan ejekkan pria itu, dimakanlah yang ada dihadapannya. Matanya berbinar – binar ketika benda tersebut melewati lidahnya, dengan lembutnya ditelan, kerongkongannya merespon tanpa tersedak. Diulanginya hal itu hingga benar – benar tak tersisa. Setelah habis, barulah rasa penyesalan itu muncul di benaknya.
Setelah menyelesaikan sarapan dan mencuci piring mereka, Detektif Cake sudah siap untuk membalik tanda bertuliskan Closed tersebut. Sesuatu membuatnya teringat, diurungkanlah niatnya itu, ia hendak pergi membeli bahan – bahan yang sudah mulai habis. Saat hendak di depan pintu, bahunya ditepuk ringan dari belakang. Wanita itu menyandingkan sebuah buku tebal ke bahunya, kemudian meminta maaf atas apa yang dilakukannya pagi tadi. Hanya saja, mata malasnya kemudian berubah menjadi jengkel saat pemberiannya itu diterima tapi roman wajah pria itu tampak bodoh yang mempunyai kesan ejekkan.
“Bodoh! aku tahu kau pasti akan membutuhkan ini.”
“Kepala anda terbentur sesuatu, kah? Salah makan?” nadanya bertanya dengan khawatir yang dibuat – buat.
Melihat kekhawatiran yang menyiratkan ejekkan itu, dibenturkanlah agak keras dahi pria itu dengan dahinya. Pria itu merintih kesakitan, tangannya mengusap dahinya berulang - ulang. Dengan membuang muka, wanita itu berjalan dengan sebal agak cepat menaiki tangga.
Gumam pria itu yang masih mengusap dahinya, “Benar – benar wanita yang tak bisa terus terang, eh?” Dibacanya dengan singkat buku pemberian wanita itu. Ekspresinya berubah puas seakan – akan teorinya yang lalu didukung sepenuhnya.
“Ah, benar – benar wanita yang pantas dipuji.”
Ditaruhlah buku pemberian itu di kantornya lantai satu. Tanpa ada yang menahannya lagi, dibukalah pintu depan, bergegas memenuhi tuntutan bisnisnya. Berjalanlah ia di sekitar Market Street, Cambridge, dihirupnya udara pagi dengan kepuasan, kicauan burung gelatik memeriahkan kupingnya. Hatinya gembira, roman mukanya terbebaskan dari kerutan – kerutan pagi yang mengutuknya, ekspresi kelegaan maksimal seakan menyiratkan betapa terisolasinya di dalam tokonya, bersama wanita itu. “Puji syukurku masih bisa keluar pagi – pagi ini.” gumamnya dengan perasaan lega.
Tak lebih lama dari sejam dan tak kurang dari sepuluh menit, pria itu membawa barang – barang yang dibutuhkannya. Sinar mentari yang sudah melebar, menandakan kegelisahannya untuk tiba di tempat dan membuka tokonya tepat waktu. Semakin terburu – buru ia berjalan saat melihat arlojinya. Ia juga teringat akan budaya paginya yang belum dilakukan, charmomile tea belum diseruputnya. Alis matanya naik sebelah saat terlihat dari kejauhan, sebuah mobil benz hitam tipe sedan yang cukup elegan, sangat jarang ditemuinya di sekitaran yang kemudian pada akhirnya diabaikannya.
Lalu firasatnya semakin aneh seiring mobil tersebut setelah mondar – mandir, tiba – tiba mendekatinya. Langkahnya dipercepat dengan penuh khawatir. Ditolehnya ke belakang, mobil itu semakin mendekat, langkah kakinya semakin kuwalahan. Hatinya semakin tenang saat melihat tokonya sepuluh langkah lagi. Tapi mobil itu dengan santai, dilihatnya malah semakin mendekat. Saat tiba di depan toko, mobil itu berhenti membawa sejuta pertanyaan dibenaknya. Diturunkanlah kaca mobil , dua orang berkaca mata hitam menyapa pria yang ngos - ngosan itu.
ns 15.158.61.12da2