“Itu benar saya yang melihatnya pertama kali! Edelyn tergantung dan Steve yang pingsan. Saya yang pertama kali menelepon ambulan dan polisi!” tambahnya masih ngotot. “Edelyn menelepon saya! Itulah kebenarannya! Dia hanya bilang ‘temui aku sebelum makan malam.’ tanpa memberi kejelasan!”
Monkey yang baru masuk, tiba – tiba menyela.
“Jam berapa Nona Edelyn menelepon?
“Sekitar pukul tiga sore tadi. Tapi saya baru bisa keluar dari rumah sakit sekitar pukul empat.”
“Sersan Wintergard, anda bisa periksa histori panggilan.”
Pria botak itu langsung pergi.
“Anda yakin itu Nona Edelyn yang menelepon?” Tanya Monkey memastikan.
“Tidak ada aneh dari suaranya. Saya tidak jarang menerima panggilan mendadak seperti itu.” Jawab Tuan Keith dengan nada yang lebih tenang.
Monkey langsung menyuruhnya menunggu di ruangannya atau ruang tamu lantai dasar. Kemudian ia dan Inspektur kepolisian Thames Valley itu mengadakan sesi interogasi. Tidak ada yang mengejutkan atau ganjil sekalipun dari alibi mereka. Semuanya hampir sama seperti sebelumnya.
“Ini tampak sama seperti kemarin, Tuan Monkey. Tapi kali saya tidak bisa memastikan. Untuk sementara saya ingin mempercayai kertas itu. Lagipula itu tulisan tangan dan ada stempelnya. Bagaimana dengan anda?”
“Saya belum yakin, mari menunggu hasilnya. Saat ini saya ingin memeriksa ulang kamar korban.”
Mereka sekali lagi mencari bukti. Monkey menggeledah semua bagian dari lemari dokumen, pakaian, dan hingga drawer. Tidak ada yang tidak diperiksa.
Seseorang melapor kepada Inspektur Duncan. Sersan Wintergard pun juga melaporkan bahwa memang di sekitar pukul tiga sore ada telepon dari pria yang sebelumnya tertuduh.
“Salah satu cangkir berisi obat tidur dan arsenik dalam jumlah yang tidak terlalu berbahaya.” Jelasnya.
Monkey hanya mengangguk. Saat ia membuka lemari pakaian, ia mencium bau yang cukup familiar.
Monkey menoleh ke belakang.
“Inspektur, kalau anda percaya dengan isi kertas itu bukannya tambah aneh?”
“Bagian mananya?”
Ia menghampirinya.
“Anda ingat posisi cangkir itu?”
“Semuanya posisi terjatuh.”
“Benar, yang satu isinya tidak terlalu banyak, yang satu lagi cukup banyak. Bagaimana saya mengetahui? Bekas basahnya.”
“Tapi mengingat obat tidur itu pada salah cangkir…”
“Justru itulah yang mendukung. Tapi mengingat hasil otopsi belum keluar, sementara tulisan itu tadi diperiksa benar – benar tulisannya. Saya tidak bisa melangkah lebih jauh.”
Malam itu seperti biasa kesimpulan belum dapat diambil, sementara Monkey yang sedari awal dalam hatinya meniatkan hari ini adalah saatnya menarik keputusan. Bahkan tadi sudah direncanakan matang dengan Desdemona saat mampir sebentar. Mengingat korban bertambah satu, maka ia harus mencari bukti. Yang artinya objektif bertambah. Namun keraguan dalam hatinya tidak pernah sepenuhnya membutakan jalan keluar. Sebelum kembali, ia sempat berbicara sebentar dengan dokter yang tiba – tiba saja ikut terlibatkan.
Sekarang yang hanya menemaninya adalah ponsel dan sebuah lukisan wanita bergaun hitam dan topeng merpati putih. Ia duduk di sofa yang diatur menghadap arah lukisan itu. Seolah – olah ia mengobrol dengan wanita dihadapannya.
“Apa yang aneh? Dimana saya menemukan bukti yang terakhir?” gumamnya. “Nona cantik, saya tahu dibalik topeng itu adalah keindahan.”
Monkey tampak seperti pengidap gangguan mental schizophrenia. Ia mengoceh seakan – akan stress dari kasus tersebut.
“Apakah anda punya solusi? Apa saja itu pasti saya dengarkan.”
Lukisan itu tentu saja diam saja. Namun ia masih terus melanjutkan.
“Anda mau kue? Baik – baik itu mudah saja. Lagipula saya tidak keberatan meski seaneh apapun wanita. Contohnya gaya berpakaian anda yang tidak seragam? Entahlah.” Tunjuknya.
Ia kemudian diam sesaat, lalu berdiri. Ia meraih wanita yang dari tadi diam saja. Terutama pada bagian yang katanya tidak seragam sambil mengingat – ngingat pembuatnya. Saat itu terjadi, ia langsung mengangguk – angguk tanpa penuh ragu. Pikirannya mulai membuatnya semangat. Lalu ia menuju pintunya.
“Nona maukah anda membantu saya?” tambahnya sambil membuka pintu itu. “Terutama dua wanita muda yang sedang menguping.”
“Ma—maafkan kami! Tu—”
“Sssstts!”
Monkey membawa mereka masuk.
“Anda ada perlu apa malam – malam?”
Mereka saling menoleh satu sama lain.
“Hehe, tidak ada. Kami hanya ingin mengisi keingintahuan saya.” Kata Nona Wilson sambil tertawa agak dibuat – buat dan menyampingkan poni rambutnya.
Monkey memandangi mereka. Dalam hatinya ia tidak mungkin memarahi mereka setelah mendengarkan tadi. Lagipula lebih baik ia menjelaskan, pikirnya.
“A—anda tidak gi—gila, kan?” Kata wanita lainnya yang sedang memain – mainkan rambut hitamnya.
“Itu sedikit kasar, Nona Dana. Tapi memang saya perlu meluruskan beberapa hal.”
Monkey menjelaskan kepada dua penguping itu.
“Berarti anda memang tidak gila?” Tanya Dana memastikan.
“Kadang – kadang mengulas beberapa hal memang diperlukan. Tapi sungguh jangan menyebut saya gila,” tambahnya lalu mengangguk. “Well, saya punya pekerjaan terakhir untuk anda.”
Mereka menuruni tangga lalu menuju dapur.
ns 15.158.61.23da2