Monkey yang masih menatap sebuah relief dinding jam sementara Desdemona yang cantik sudah lanjut naik lantai dua. Sambil tangannya mengenggam erat barang yang belum dikembalikan seharian, menempatkan dirinya pada perasaan gugup pada sang pemilik. Namun yang membuat alisnya dikerutkan sedangkan matanya tanpa berkedip sedikitpun, adalah sebuah peristiwa dalam relief itu sendiri. Sama halnya dengan alasan dibalik nama Watcher yang kemudian membuat kepalanya digelengkan kesekian kalinya.
Karena rasa penasarannya masih berbuah cukup asam, tangannya yang lain mencoba meraba dari seluruh bagian yang hanya dapat dijangkaunya seperti rubah, tikus, musang dan jam pada pohon itu sendiri. Bagian yang lain agak tinggi dipandangnya dengan yakin, lalu ia pun beralih pada sudut – sudut. Terutama bagian sudut kiri paling bawah yang tangannya menyadari bekas seperti lilin yang memadat tidak rapi.
“Apa yang tidak kumengerti dari relief ini? Apa yang ingin disampaikan?” Gumamnya agak memekik.
Kini ia mulai sadar dua hal. Pertama adalah perasaan tidak enak pada pikiran yang mengganjal. Pemikiran dengan logika yang mencoba merasionalkan hanya sia – sia sehingga menyebabkan hasil yang terlihat memaksakan. Masalahnya adalah ia perlu bukti fisik, lebih bagusnya lagi sebuah hitam diatas putih. Itu lebih baik dari sekedar menebak, setidaknya ia sadar bahwa jawaban masih belum berbuah manis juga.
Yang kedua adalah bagaimana menghadapi Nona Edelyn yang dengan cemas, sedang menunggu barang yang digenggam oleh tangan kirinya untuk dikembalikan. Terutama pesan pada ponselnya sedari kemarin yang penuh dengan nomor wanita sama. Ironisnya itu bukan kesan romantis, melainkan sedang diperingatkan, ditagih, boleh jadi dihantui.
Langkahnya pun dipercepat menaiki tangga, kemudian diatur melamban saat mendekati kamarnya adalah bukti ketakutannya.
Pintu tersebut diketuk dengan ramah. Setidaknya Monkey yakin bahwa ia adalah pria yang licin.
“Masuk.”
Pintu itu dibuka. Seorang wanita berjalan dengan langkah cepat sehingga pria itu masih belum sempat masuk.
“Oh demi tuhan, Tuan Keymark! Anda pikir anda pria licin? Saya tidak habis pikir anda melanggar janji! Sebaiknya anda tidak mengecewakan lebih dari ini!”
Wanita berambut agak perak itu langsung merebut paksa. Kemudian dibukanya isinya, wajahnya menjadi lega.
“Maafkan, milady. Sesuatu yang tidak terduga seperti macet. Tapi saya membawa cukup kemajuan beberapa informasi. Tentu maksud saya kasus akan lebih cepat diselesaikan, bukan?” Katanya dengan ramah sambil membungkuk.
Wanita itu memandangi Monkey masih sebal. Ia diam dan berpikir sejenak, setelah itu mengangguk paham.
“Itu cukup masuk akal.,” tambahnya sambil menghela nafas, tekanan darahnya sedikit menurun. “Karena anda orang tua, saya tidak punya alasan untuk membenci lebih jauh. Anda masih ada perlu?”
“Bila anda tidak keberatan untuk beberapa menit.”
Wanita itu duduk sambil memilah – milah dokumen. Ruangannya agak berantakan ditambah dengan beberapa kerdus kemarin yang dibawa ke dalam. Moodnya sudah membaik. Setidaknya itu cukup membuktikan bahwa ia adalah pria licin.
“Saya cukup terkesan anda suka pada—maaf cinderamata yang agak cacat?”
Wanita itu membanting kertas itu, sorotan pandangannya agak tajam.
“Cacat? Apa maksudnya?”
Monkey menoleh sesaat pada pintu. Lalu kembali menatap wanita yang agak marah itu.
“Eh? Daripada separuh ke bawah dibuat bentuk tabung, di pasaran mungkin benar – benar mengambil bentuk aslinya.”
“Itulah yang dibilang seseorang yang bukan pecinta seni! Yang terpenting bukan hanya bentuk tapi bahan yang dipakai, terutama resin dan porselen!”
ns 15.158.61.6da2