“Gaji yang diberikan pun juga cukup besar.”
“Ah! Berarti anda sekalian cukup beruntung.”
“Kami sangat bersyukur,” ia menoleh pada wanita yang berambut hitam sebahu. “Bagaimana kalau anda sendiri, Nona Freeman?”
“Tidak jauh berbeda, tapi saya lumayan puas.”
“Itu benar, Tuan Monkey. Banyak dari majikan yang agak pas – pasan mengirit segalanya!” tambah Nona Wilson yang berambut pendek itu.Monkey mengangguk.
“Jadi… toilet dibersihkan setiap paginya ya?”
Wanita dengan rambut coklat itu dengan cerdiknya mengangkat mulutnya.
“Maksud anda waktu kemarin malam?”
“Bila anda berkenan bercerita, um… Nona Wilterdale?”
“Wilson, Tuan. Sebenarnya kemarin itu kami berniat cuci muka setelah membersihkan ruangan – ruangan dan koridor lantai tiga.” Jelasnya dengan sabar meskipun lawannya sering salah panggil.
“Ah maaf. Pria tua di ujung usianya memang sulit mengingat nama seseorang, bahkan secantik anda.”
Wanita yang seringkali namanya salah dipanggil mengangguk wajar, namun pujiannya tampak tidak efektif.
“Rumah sebesar itu membuat kami kuwalahan kalau boleh jujur, Tuan Monkey.”
“Walaupun tiap seminggu sekali, Nona Wilson?” katanya yang kali ini tidak salah panggil.
“Tidak mungkin kami bisa membersihkan semua rumah hanya dalam 24 jam, bukan? Maksudku rumah seluas ini belum termasuk pekarangannya, ataupun kebutuhan lain kalau – kalau kami dibutuhkan. Maka dari itu sebisa mungkin, kami berusaha mencicil jadi dua hari agar sisanya agak tenang.”
“Kemarin adalah hari yang sangat melelahkan. Tentu saja saat melihat soda anggur milik Tuan Besar yang berceceran di sekitar toilet kami tidak bisa tinggal diam.”
Segera Monkey memotong pembicaraan sebelum melewati pembicaraan yang lainnya.
“Apakah soda anggur tersebut tercecer di satu tempat?”
“Hal itu akan memudahkan kami tentunya! Masalahnya tidak.”
“Pasti sangat melelahkan sekali, Nona! Balasnya dengan nada penuh empati.
Kedua pembantu muda tersebut kompak mengangguk. Senyuman tipis pada wajah Monkey, hatinya tambah senang karena lebih dari yang diduga. Dengan mudahnya ia memainkan pembicaraan. Namun tiba – tiba salah satu wanita muda itu mengajukan pertanyaan.
Suara wanita itu agak ragu – ragu, “Anu, Tuan Monkey?”
“Ya, Nona Freeman?”
“A—apa penyebab kematian, Tuan Armand?”
Sekejap suasana menjadi sunyi. Kedua pembantu muda itu pandangannya ke bawah, roman wajahnya menjadi sedih. Tangannya diangkat dari meja lalu disandarkan dipangkuannya, jari – jarinya disatukan dan menggenggam erat satu sama lain. Keringat yang mulai bercucuran di dahinya, Cake menyadari itu. Ekspresi ketakutan akan rasa bersalah menyiratkan seberapa besar tanggung jawabnya.
Suara Monkey melembut, “Saya tahu yang anda pikirkan. Tapi tenang saja, penyebabnya tentu saja bukan seperti yang anda kira.”
Pria itu menjelaskan dengan tenang dan jelas. Salah satu wanita dihadapannya merasa lega, sedangkan yang lainnya malah terguncang.
“Su—Sudah saya duga! Waktu itu Tuan Armand berlarian sambil memegangi dadanya!” Wanita bernama Wilson itu meledak dengan suara tegas mempertahankan pendapatnya. Kelegaannya yang sudah dipastikan.
“Benarkah begitu, Nona Freeman?”
“I—itu benar, Tuan Monkey.” Ucap salah satu temannya yang masih tampak sedih.
Monkey merasa aneh dengan hal itu. Satu hal yang pasti adalah keanehan itu harus ditampung di otaknya. Permasalahannya adalah ia belum melihat adanya hubungan yang tampak dengan kasus tersebut.
“Apakah anda sangat dekat dengan Tuan Besar?”
Wanita itu hanya diam mengangguk. Matanya agak berkaca – kaca, namun air itu tak kunjung jatuh juga.
“Tuan Armand sudah seperti ayah kami sendiri. Beliau seringkali menemani kami saat waktu senggang. Bahkan setelah ada Dana, ia makin giat mengajak kami bersenang – senang.”
Monkey masih janggal dengan kata ‘bersenang – senang’
“Maksudnya, Tuan Armand sering mengajak anda berdua— untuk—?” kedua tangannya diangkat, kedua jari tengah dan telunjuk digerakkan melipat – lipat, menyiratkan maksud tidak terpuji.
Nona Wilson menggeleng.
“Tidak, bukan begitu. Kami hanya diajak sekedar untuk bermain ular tangga atau monopoly, kadang setelah itu mereka memberi uang saku. Kadang beliau juga menyuruh kami libur sebentar. bahkan kami sering diajaknya makan di restoran, menonton bioskop, atau sekedar jalan – jalan ke mall,”
“Saya yakin Tuan Armand hanya merasa bosan dan kesepian. Anak – anaknya selalu sibuk saat ia pensiun.”
Moenky itu hanya mengangguk dan menerima fakta yang ada, namun beberapa keganjalan yang dirasanya belum terjawab. Sebenarnya ia ingin sekali menggali lebih dalam, tapi tidak ingin merepotkan pembantu itu lebih lama.
“Pembicaraan ini sangat menyenangkan,” tambahnya sambil menyeruput teh sampai habis lagi. “Saya merasa jauh lebih muda dari yang saya bayangkan.”
Kedua wanita itu tersenyum. Mereka juga terlihat menikmati pembicaraan ini. Detektif itu beranjak dari duduknya, menuju pintu.
“Bila anda tidak keberatan, kami bisa mengobrol lagi nanti malam, Tuan Monkey.”
“Tentu, Nona Wilson!”
Dengan bisikan penuh harap, “Kami menantikan kue anda yang lain.”
Balas Monkey dengan tangan yang mengacungkan jempolnya. Saat meraih gagang pintu, ia tiba – tiba terhenti.
“Oh ya, nona. Tuan Besar sangat suka kue juga? Saya harap dapat membuatkannya meskipun satu potong, walaupun itu tidak mungkin.”
“Eh? tentu saja. Setiap hari Tuan Armand selalu minta dibelikan kue apapun.”
“Dan siapa yang membelikan?”
“Eh? saya rasa mereka bergiliran.”
“Terima kasih, Nona Wilson.”
Dibukalah pintu tersebut, pria itu telah mendapatkan banyak sekali kejutan. Ia menuju ruang tamu. Wajahnya berseri – seri, diambilnya secarik kertas pemberian Nona Wilson tadi. Dibacanya dengan singkat, kemudian dikembalikan lagi pada sakunya. Ia terbenam sebentar di kursi sofa, sambil menunggu majikannya itu.
***
ns 15.158.61.6da2