“Persis, Nona Egremont. Sebuah mobil punya aturannya dan prinsipnya sendiri. Katakanlah kepala anda sedang fokus pada lima hal, ya?”
Ia diam sesaat, alisnya sedikit berkerut.
“Rem, pedal gas… kopling…” tambahnya. “Pandangan ke depan dan tiga spion. Ya, kurang lebih. Eh? Jangan lupakan stir mobil.”
“Anda dapat poinnya. Bisa dikatakan minimal seorang sopir menggunakan enam instruksi, termasuk stir mobil yang barusan anda bilang. Tapi apakah itu saja yang dibutuhkan? Tentu tidak. Mereka harus mengerti karakteristik jalan. Contohnya saja kemarin anda langsung lewat bundaran yang bahkan anda bilang memang sering ramai. Hal itu akan terus bersambung dengan perkiraan bensin, waktu, mencari pelanggan, dan lain sebagainya.”
Monkey membuka pintu mobil.
“Ah, itu benar. Saya cukup memperhitungkan segala hal. Tunggu dulu? Itu berarti otak saya selalu bekerja! Saya tahu bisa pintar meskipun tanpa sekolah!” katanya dengan bangga.
“Ah mengenai itu.”
“Mengenai itu?”
“Terlepas dari otak sering dipergunakan atau tidak bukanlah tolak ukur nilai akhirnya. Masalahnya kemarin pun anda meleset, hampir total. Ditambah beberapa sikap…” Kata Monkey sambil menutup pintu mobil.
Mobil pun dinyalakan.
“Yang penting otak ini sering digunakan, pak tua!” nadanya masih berbangga diri.
Posisi mulai menjauhi area pemberhentian selatan dekat danau Killingroad, selanjutnya masuk ke tol utama M6.
Monkey menghela nafas, ponselnya dikeluarkan lagi.
“Itulah bagian yang menyedihkan.”
Rokok wanita itu dimatikan pada asbak.
“Mengapa begitu?”
“Harusnya berkembang, tapi anda tidak.”
Si tomboy diam dengan menyesal mengikuti perkataan pria tua itu. Wajahnya yang baru saja semringah, namun sudah dibuat sebal lagi. Perjalanan kembali lurus menempuh jalur M6, masih dengan lembah – lembah yang indah. Telinga pria tua itu seakan menangkap bisikan dari lembah – lembah sunyi itu, menyuruhnya agar memperhatikan. Namun setelah buku catatan kecilnya, ponselnya adalah hal kedua yang menyita perhatiannya.
Mata wanita itu dari kejauhan melihat bundaran pertukaran Crooklands, sebelum itu mobilnya sudah diatur berbelok menuju A590 daripada jalur lurus M60. Sesekali ia melirik spion tengah namun pria itu masih menatap ponselnya.
“Ngomong – ngomong, Nona Egremont, mengapa anda bilang wanita itu lamban?”
“Wanita itu?” tambahnya sambil menurun kopling. “Oh. Bagaimana saya harus mengatakannya? Linglung? Atau kira – kira seperti itu. Entahlah, mungkin ia minum selusin kaleng bir?”
“Saya khawatir tidak, itu hanya membuatnya pingsan. Tapi saya pun juga tidak mencium bau alkohol.”
Mobil kemudian agak dipercepat, seakan – akan melewati Sungai Lune tanpa sadar.
“Menurut anda sendiri?”
“Pertanyaan yang bagus. Wanita yang lamban tidak akan pernah bekerja sebagai resepsionis. Paling jauh asisten rumah tangga atau sesuatu pekerjaan rutin tanpa pikiran yang rumit, contoh lain adalah pekerja pabrik. Di samping itu penjelasannya cukup cakap, benar?”
“Kalau anda yang bilang, dipikir – pikir memang begitu. Lagipula ia bau cat dan ada bekas semen pada dahinya. Pada akhirnya juga tidak diperlihatkan apa yang dikerjakannya.”
“Ah, saya tak terpikirkan untuk bertanya saat itu.”
Nona Egremont kembali menatap sesaat spion tengah.
“Hey saya mungkin tak punya jiwa seni, tapi agak sedikit penasaran dengan beberapa hal.”
“Misalnya?” tanya Monkey yang kali ini ia tidak memandang ponselnya.
Ia menginjak pedal rem mengalah pada kendaraan dari arah pertigaan hendak melaju.
“Sebenarnya saya agak ceroboh. Takutnya kalau kunci mobil itu akan terjatuh kalau tetap berada pada saku ini, makanya drawer itu terlihat sangat membantu. Saya buka drawer itu isinya banyak obat – obatan. Dengan begitu, kunci mobil tetap tenang dalam saku untungnya tidak hilang.”
Pria itu terlihat dari spion tengah, namun tidak terlalu terkejut.
“Satunya?”
“Anda ingat dua gambar sebelum wajah wanita yang setengah itu? Tapi saya pikir anda kelihatannya tidak tertarik.”
“Kalau tidak salah buah apel yang dipotong dan burung dengan refleksinya pada air. Ada yang aneh?”
“Bukannya itu seperti kupu – kupu? Itu loh, kalau anda melihat bijinya sejajar.”
Monkey mulai membayangkan, matanya membesar tanpa berkedip selama beberapa detik.
“Demi tuhan, anda benar! Saya tidak terpikirkan sejauh itu mengingat tekniknya lebih menarik. Lalu burung itu?”
Wanita itu menggaruk kepalanya, wajahnya menyiratkan kesukarannya dalam menjelaskan.
“Bila itu susah, anda bisa katakan apapun,” tambahnya dengan agak memaksa. “Apapun itu! saya akan berusaha menafsirkan sendiri.”
Ia berusaha membuka mulutnya.
“Saya tidak tahu dengan air, tapi misalkan kaca. Burung merpati akan terlihat seperti burung merpati, kan? Kalau di air pantulannya agak berubah, terutama di bagian paruhnya. Seperti malah menjadi burung lain? Tapi mengingat air bergelombang jadi bisa saja.”
Monkey memejamkan mata membayangkan apa yang dikatakan si tomboy.
“Mungkin, mungkin.”
ns 18.68.41.140da2