Monkey menaruh cangkirnya yang kosong.
“Cerita anda sangat menarik, terutama Nona Avery. Tapi saya ingin tahu lebih banyak di Keluarga Alaister—tentang hubungan—kerukunan—Ah atau mungkin keadaannya sekarang?”
“Soal itu,” jelasnya sambil menuang penuh cangkir kedua tamunya. “Seiring berjalannya waktu, saya agak merasakan persaingan. Terutama orang yang paling berkuasa nomor dua, kedua istri Alaister. Sedikitnya dua kali sehari hanya mempermasalahkan hal sepele. Anak – anak mereka juga berbangga – bangga diri terhadap pencapaiannya. Di usia mereka yang berkisar enam belas hingga dua puluh dua tahun punya bisnis sendiri – sendiri. Pernah sesekali saya menyaksikan percekcokan hebat, membicarakan bisnis bunga milik Nona Mitchell, anak dari istri kedua Nyonya Cockatrice, karena suksesnya mengantongi berjuta – juta pounds. Saya menguping dari kejauhan. Setidaknya kami punya pendapat yang sama.”
“Kami?”
Monkey menyeruput cangkirnya yang barusan diisi penuh.
“Ya, Saya, Tuan Armand, dan Nona Avery. Saya tahu itu kebiasaan buruk, tapi mungkin saja saat itu bisnis bunga sedang naik – naiknya. Walaupun Nona Avery tidak berpikiran yang sama. Sejak saat itu Tuan Armand mulai berubah sikapnya. Daripada membawa tali untuk mengikatnya, ia lebih menyuruh saya untuk mengambilkan beberapa buku di perpustakaan dekat tangga lantai satu. Kira – kira per hari bisa dua buku yang tebalnya enam ratus halaman. Karena perubahan itu saya membicarakan pada Nona Avery. Dan tidak disangkanya ia terkejut, setidaknya dari romah wajahnya agak bangga. Saya pun juga merasa sama, bisa membuat majikan menjadi lebih baik agak lega rasanya.”
“Enam ratus halaman? Demi tuhan! Saya bisa menghabiskan satu bulan membaca kalau seharian saya tidak bekerja.” Kata wanita tomboy dengan kaget.
“Ah, berarti saya menyimpulkan Tuan Armand Antoinette adalah anak yang cerdas,” tambahnya masih memegang dagunya. “Lanjutkan, Tuan Periwinkle.”
Wajahnya menjadi serius, posisinya berganti senyaman mungkin sebelum menghela nafas yang cukup berat.
“Malam itu, saya belum bisa lupa. Keadaan di rumah juga semakin gila, perdebatan, permusuhan, tuduhan dan lain – lain. Belum lagi tambahan rumor bahwa Tuan Besar mengikat janji dengan wanita kaya demi menaikan bisnisnya. Tuan Armand yang sudah berumur 18 tahun mulai mengajak saya untuk kabur dari rumah tersebut. katanya memakai tabungannya dari kecil yang ia kumpulkan kira – kira akan bertahan tiga tahun di kota dan sewa tempat yang tidak terlalu besar. Lalu saya kembali bertanya ‘Mengapa tidak kita bertiga?’ Tuan Armand memandang di balik tirai, sebelum melontarkan jawaban yang terdengar kurang yakin. Saya terus terang tidak bisa meninggalkan Nona Avery, tapi entah mengapa kesempatan itu tidak datang dua kali—tidak mungkin, sekali seumur hidup!”
Suasana seakan bertambah serius ketika wanita tomboy itu menengok di balik jendela. Air dari langit berjatuhan dengan jumlah yang kecil, bersamaan gelapnya awan yang menyebabkan cahaya sepersekian detik itu menjadi sangat terang. Setidaknya tidak diiringi suara yang memekakkan telinga yang boleh jadi sangat menganggu obrolan mereka.
“Kami mengambil beberapa pakaian, memasukannya dengan cermat ke dalam ransel. Tengah malam bukannya sangat sepi, namun beberapa pembantu mondar – mandir. Saya pikir mereka akan tidur bila lewat tengah malam, ternyata tidak. Kami turun mengendap – endap hingga sampai lantai dasar masing – masing kepala kami saling menjaga depan dan belakang. Membuka tirai dengan pelan, Tuan Armand langsung saya beri tanda.
Lalu kami keluar dengan hati – hati sebelum menutup pintu belakang dengan sopan. Lewat jalur yang menurut perhitungan adalah yang paling aman dan rendah penjagaan. Namun ternyata tidak, Nona Avery menghadang kami. Dia menatap kami dengan tajam. Dalam – dalam lirikannya terhadap kami berdua, menyuruh kami untuk kembali tidur. Saya mencoba membujuknya namun tidak berhasil, tidak pula Tuan Armand. Hal itu cukup menyita waktu hingga saat beberapa cahaya mendekat dari arah pintu belakang. Nona Avery masih geram pada kami berdua.
Ia memasukkan sesuatu pada kantong celana milik Tuan Armand sebelum memeluk untuk yang terakhir kalinya. Masih dengan wajah yang sama, katanya sambil tersenyum ‘Mari mengingat satu sama lain, pada pertemuan yang kedua.’ Tangan kirinya mengenggam tangan kanan saya erat – erat. Lalu ia mempersilahkan kami lewat. Saat saya berhenti, pandangannya saya menoleh balik, cahayanya semakin dekat. Ia menoleh, matanya melirik dengan murka ‘Apa yang anda tunggu?’ katanya dengan tenang. Kami berhasil kabur.”
Tuan Periwinkle mengeluarkan sesuatu saku kemejanya. Wanita Tomboy itu terpikat dengan warna biru dengan gradasi unik. Sebuah liontin kecil terdapat penunjuk waktu, bila digeser maka terlihat gambar wanita yang diagum – agumkan pria tua itu tersenyum.
“Kami kabur dari Leeds ke Scarborough. Sisanya membangun bisnis kecil yang lama kelamaan tumbuh adalah pertama kalinya saya merasakan kebebasan dengan uang yang cukup banyak. Kejadian yang lalu seperti mimpi, sampai saat kami membaca The Times bahwa Alaister binasa. Gambarnya adalah rumah yang semegah itu terbakar habis. Saya kembali teringat Nona Avery yang hingga sekarang keberadaannya sama sekali tidak diketahui. Sejak saat itu hingga saat ini saya tidak bisa menerima wanita lain. Entahlah? Sebagian dari saya bilang dia sudah tiada, namun sebagian kecil harapan saya masih menunggu.” Jelasnya dengan sedih.
ns 15.158.61.55da2