Wanita itu bersiul dengan santainya, sementara kopi masih menunggu kurang dari enam menit. Oven pun sudah diatur pada makanan yang dibelinya kemarin malam. Ia belum mengatur rambutnya yang agak berantakan efek bangun tidur, sedangkan ia sendiri mengaku bukan tipe wanita yang terlalu perfeksionis merawat diri. Bahkan katup matanya masih mengatakan pada wanita itu bahwa ia ingin berhubungan dengan bantal tidur lebih lama lagi daripada kafein pada cairan hitam. Terutama sebuah novel yang Monkey ingin dia membacanya, tentu tidak sampai larut malam.
Mulut masih memaksanya menguap berkali – kali. Digesernya pintu kaca selatan rumah yang langsung menghubungkan kebun yang agak luas dipenuhi rerumputan tinggi. Setidaknya bunga mawar merah favoritnya walaupun tidak banyak namun masih mekar.
Ia mengelus bunga tersebut sambil membauinya.
“Oh sayangku,” ia memegang dengan hati – hati batangnya. “Si cantik yang berduri, memikat namun sulit mendekat.”
Kemudian disiramnya.
“Siapa yang paling ia pikirkan? Kau tahu? Terkadang aku bingung harus bagaimana? Lebih baik duri daripada tembok yang tebalnya tak terbendung, kan?” Katanya agak sedih menatap bunganya.
“Oh lihatlah mereka sudah terlalu panjang!”
Segera diambilnya gunting dari gudang dekat dapur setelah mesin pembuat kopinya dimatikan. Tentu saja tidak melupakan oven dan makanan yang masih agak panas.
Ia melantunkan seutas lirik sambil menggunting rerumputan.
“Satu untuk kesedihan, dua untuk kesenangan.”
Memotong dibuat ketukan sesuai iramanya.
“Tiga untuk anak gadis, empat untuk anak laki - laki.”
Ia berjalan agak jauh, sementara rumput di sisi sebaliknya yang masih ada walaupun tidak banyak ditinggal.
“Lima untuk perak, enam untuk emas.”
Kemudian sampailah ia pada pohon yang daunnya sudah agak menguning. Pohon tersebut sangat terawat bahkan pada pemilik rumah sebelumnya. Ia berjalan memutar untuk mencabut rumput di sekitar. Sambil mendongak ke atas. Secara logika pasti tidak ditemukan buah pir di bulan september, selain yang sudah jatuh akhirnya membusuk atau sudah diambilnya kemarin. Walaupun jauh dari penasaran ia masih berharap. Benar saja saat wajahnya melongo, tak perlu berjingkat agak tinggi ia memetik pir yang sendirian itu. Satu – satunya yang masih segar, satu – satunya buah yang tersisa.
“Tujuh untuk rahasia yang tak pernah diceritakan.”
Kini ia kembali untuk berurusan dengan sarapan dan kopi yang masih hangat. Sambil mengecap ia memerhatikan jam sesaat. Kemudian ia membuang bungkus makanan pada tong sampah depan rumah, lalu membersihkan cangkir sebelum akhirnya dirinya sendiri.
Kemudian menaiki tangga. Seperti wanita umumnya, menuju kamarnya untuk berdandan. Rambutnya ikal dikuncir belakang, sedangkan bagian depan rambutnya tidak dibuat menutup dahinya melainkan dibiarkan menjuntai pundaknya masing – masing di kanan dan kiri. Seperti model rambut ala gaya pernikahan. Ia mengenakan kaos polos hitam daripada putih. Dari pantsuit hitam yang kemarin, kini ia menggunakan yang warnanya sama dengan rambutnya. Tidak lupa dengan parfum mawarnya.
Jam pada ponselnya menunjukan masih tersisa agak banyak waktu, dipesannya jasa antar jemput roda empat untuk pergi ke toko buku New street, Saint Neots. Segera setelah itu ia mengambil tas wanita yang ukurannya lebih besar dari kemarin. Lalu menutup semua pintu rumahnya. Tak lama dari tiga menit, mobil hitam berukuran keluarga telah sampai.
Kini ia sampai di tempat.
Sekitar beberapa menit sebelum masuk ke toko, ia menyuruh sang supir untuk menunggunya. Mobil bergerak pelan mengambil jalur kiri yang katanya agak sepi untuk parkir sementara.
Daripada berlama – lama, ia langsung menuju kasir untuk membawakan langsung beberapa yang ia cari. Setelah barang itu tiba, kasir menyuruh wanita red velvet itu menekan beberapa tombol.
Digeseknya sebuah kartu, lalu memencet tombol seperti yang ada pada telepon konvensional.
Lalu sebuah kertas kecil keluar dari mesin pencetak dot matrix tersebut yang segera ditarik. Sebelumnya ia menolak kresek sehingga langsung dimasukkan ke dalam tas.
“Terima kasih.”
“Tunggu sebentar, Nona,” Wanita berkacamata rambut kepang itu mengeluarkan kertas kecil lain warna merah. “Voucher anda.”
Desdemona terhenti sejenak.
“Voucher?”
“Hanya di toko kami, setiap pembeli yang menghabiskan sekian pounds mendapat voucher potongan harga untuk pembelian berikutnya.”
Ia terkejut.
“Wow! Tiga puluh persen? Semua buku?”
Wanita kasir itu mengangguk.
“Minimal pembelian tiga puluh pounds.”
Perasaannya agak gembira saat keluar dari toko tersebut, kemudian ia menyuruh supir untuk mengantarnya ke Speedwell street, Oxford. Dalam perjalanan, ia melanjutkan buku yang semalaman belum selesai dibacanya. Pada awalnya agak terkejut saat mereka mengambil rute yang berbeda, Monkey menyelipkan sebuah buku pada tas miliknya.
Namun saat membaca pesan melalui ponselnya ia tak punya pilihan lain. Sementara sejak awal dirinya tak pernah terjun pada dunia literatur, apalagi menyentuh novel. Paling tidak dari toko buku tadi, ia tidak menukar poundsnya untuk sebuah majalah atau tabloid. Karena paksaan apapun selain dipertemukan sebuah kasus, tidak akan pernah berhasil. Lembar demi lembar mulai tenggelam dalam sebuah cerita, dalam hati kecilnya ia menikmati.
“Entahlah, mengapa banyak orang tertarik? Maksudku ini bahkan tidak nyata.” Gumamnya sambil terus membalik lembar halaman sekitar tiga ratus. Minimal ketidakjujurannya masih sangat menjengkelkan. Tidak lebih dari dua jam, kini mobil yang membawa Desdemona melewati bundaran dan sampai pada Jalan Woodstock. Sebelumnya karena ia bukan tipe yang berurutan, ia mampir ke Gedung seni North Wall untuk melakukan suatu urusan. Hingga mobil akhirnya berhenti saat berada di Speedwell Street.
ns 15.158.61.55da2