“Terima kasih.” Katanya setelah memberikan beberapa pounds pada sopir.
Ia berjalan menuju sebuah toko kue seperti sebelumnya, interior warna – warni pelangi, dimana pria yang bersamanya saat itu tidak mengapresiasi inovasi dari sebuah cheesecake. Desdemona hanya menganggap masa bodoh karena kue hanya kue, yang begitu dikunyah akan terasa lembut. Walaupun pada kenyataannya milik toko di Market street Cambridge masih jauh lebih baik.
Memesan sebuah kue yang sama seperti sebelumnya, segelas susu kocok rasa stroberi memang tidak bisa dipisahkan. Anehnya saat pesanan sampai ke meja, sebuah sedan hitam agak lusuh model baru keluaran jepang berhenti.
Saat pintu terbuka, kedua orang itu berhenti sejenak memandang meja dekat pojok kiri dekat kasir, seorang wanita muda yang tampak berbeda dari enam pelanggan lainnya yang duduk agak berjauhan. Tidak hanya lelaki, beberapa pelanggan wanita pun meliriknya.
Dari kejauhan mereka berbisik.
“Hey, hey bukannya dia sangat mencolok? Seorang artis?” Bisik Nona Egremont.
Ia menggeleng ringan.
“Ah, bukan,” tambahnya. “Saya tidak mengerti mengapa nasehat orang tua tidak pernah didengarkan. Tapi berpakaian mencolok itu bukan hal bagus.”
“Saya tak bicara dari pakaiannya, maksudku lihatlah! Pasti artis!” Kata wanita tomboy itu dengan yakin.
Monkey menggeleng yang kedua kalinya. Mereka berjalan mendekati wanita itu.
“Bonjour, milady.”
“Ah, Tuan Monkey,” ia menoleh pada seseorang. “Dan ini, tuan?”
“Ah, soal itu—”
“Sa—saya Honey Egremont, sopir bebas.” Kata wanita tomboy itu dengan agak gugup menatap wanita yang kinclong.
“Tuan Egremont.”
“Saya wanita.”
Desdemona terkejut.
“Silahkan, Nona Egremont.”
Mereka duduk.
Lalu Monkey menjelaskan dengan singkat tentang wanita tomboy itu. Begitu pula ia mengenalkan ulang profesi mereka.
Desdemona menatapnya dengan suara lembut.
“Jadi Nona Egremont, sewaktu – waktu kami butuh, anda bersedia, kan?”
“Ti—tidak ma—masalah!” tambahnya masih gugup sambil menyerahkan kartu identitas. “Ini nomor saya.”
Monkey yang hendak mengangkat mulutnya memanggil pelayan disela Desdemona.
“Jadi, apa Tuan Monkey baik padamu?”
Wanita tomboy itu melirik sesaat, Monkey memicingkan matanya sambil mengangguk.
“I—iya sangat baik! Sa—saya tidak keberatan bila disuruh – suruh!” Balasnya dengan gugup.
Desdemona melirik tajam yang membuat Monkey panik.
“Perhatikan kata – kata, Nona Egremont!” tambahnya. “Itu tidak benar milady. Lagipula—”
Desdemona menyela.
“Lanjutkan Nona Egremont.”
Keterangan wanita tomboy itu hanya memperburuk pinggang Monkey, terutama cubitan maut seorang wanita. Setiap kata yang keluar dari wanita tomboy itu, maka saat itu ekspresi Monkey menahan kesakitan.
“Terima kasih sudah jujur, sekarang pesanlah kue dan duduklah di tempat lain. Kami akan mendiskusikan sesuatu. Jangan pergi dulu, setelah ini kami harus ke tempat lain.” Katanya dengan ramah.
Nona Egremont tersenyum lebar, kini gugupnya mulai berkurang. Saat pandangannya dialihkan dari wanita yang cantik tersenyum mempesona, ia lalu memandang pria tua yang tangan kirinya mengusap – ngusap pinggangnya memandang dengan tajam.
Monkey merintih.
“Kau tak perlu main fisik, kan?”
“Masalahnya saya tidak mau ikut campur bila kasus pedophilia menghampirimu. Aku sempat kaget!”
“Kau bercanda, Rachel? Tokoku selalu kedatangan wanita cantik, kenapa harus mengambil bocah ingusan?” Nadanya agak dipelankan.
Desdemona tiba – tiba memandang tajam.
“Mari kita diskusikan itu besok. Soal ‘wanita cantik’ yang kau bicarakan!” Katanya dengan tegas.
Monkey agak panik, lalu memanggil pelayan untuk mencatat pesanannya. Mereka kembali serius.
Ia kembali pada peran formalnya.
“Jadi apa yang anda dapatkan?”
Desdemona menghela nafas, ia menaruh ponselnya di meja.
“Sebuah gedung yang cukup luas daripada tinggi, Clifton Road 5B, Birmingham.” Ia mengayunkan ponsel itu dengan ringan. “Bagaimana menurutmu?”
Monkey mengangguk sambil memicingkan matanya.
“Cukup mencolok dibandingkan tempat di sebelahnya yang anda sengaja ambil agak jauh. Anda telah belajar,” Monkey melirik wanita itu. “Sebuah kebun?”
Ia menggeser pada layar ponsel, sementara wanita temannya menjelaskan secara perlahan.
“Beberapa seperti kacang – kacangan, labu ada juga pohon plum. Ah, katanya mereka punya rumput di bagian belakang.”
“Rumput?”
“Mereka punya peternakan di lantai dasar.”
Desdemona menjelaskan dengan singkat mengenai peternakan hingga produk yang dihasilkan.
“Ah, saya tidak mengerti mengapa mereka cukup kompleks, tapi tak apa lanjutkan.”
“Kemudian kami langsung dibawa ke lantai paling atas.”
Monkey sangat fokus pada penjelasan wanita itu, jarinya masih menggeser ponsel yang menunjukkan beberapa foto. Bahkan saat lava cake dan tisanenya diantarkan, ia tak sadar. Beberapa menit berlalu setelah mulut wanita itu tidak diangkat lagi dan foto tersebut sudah mentok, ia diam sambil memejamkan mata. Ia mencoba merasionalkan kesimpulan informasi tersebut.
“Peternakan lantai dasar, lalu diatasnya resepsionis yang anda masuk pertama kali, juga ada kulkas raksasa penyimpan stok. Lantai tiga tanaman herbal dan budidaya Chanterelle Morel, lalu kantor, dan yang terakhir rumah kaca.”
“Ada yang aneh?”
“Belum, anda sendiri?”
“Saya agak sangsi di tempat Chanterelle Morel. Sebelumnya Tuan Chandler pernah bilang bahwa seingatnya tempat itu untuk tanaman obat – obatan. Katanya Henrietta yang menyuruh.”
ns 15.158.61.55da2