Awan kelabu menghiasi langit sore itu. Salju yang mulai turun siang tadi membuat jalanan menjadi sedikit licin dan terhalang oleh tumpukan salju. Tapi kegembiraan menyambut perayaan yang selalu dirayakan setiap bulan Desember itu tidak surut. Orang-orang yang baru kembali dari pekerjaan mereka atau belanja untuk perayaan suka cita itu nampak berlalu lalang.
Jangan lupakan pria tambun berbaju merah, berjanggut putih dan tawa khasnya. Jangan lupakan lonceng tangan yang selalu digoyangkannya sambil mengucapkan sapaan pada setiap orang yang melaluinya. Dekorasi natal menghias seluruh jalan kota dan pohon pinus besar di pusat kota itu. Suasana gembira dan penuh suka cita itu semakin meningkatkan semangat seorang pemuda yang akan beranjak dewasa itu.
Dia berlari melewati para pejalan kaki, bahkan menyapa riang pria tambun berbaju merah itu. Senyumnya tidak pernah luntur saat salah satu tangan menggenggam erat sebuah surat. Langkah kaki panjangnya semakin dipercepat ketika dia sudah mencapai salah satu rumah sewa tiga lantai dan belasan kamar. Beberapa kali dia melompati beberapa anak tangga untuk mencapai di salah satu kamar sewa yang berada di lantai paling atas itu, kepulan asap yang tidak beraturan keluar dari mulutnya lantas tidak menurunkan semangatnya.
“PAMAN!!!” teriaknya gembira
Pemuda itu berseru girang saat mencapai tangga terakhir lantai kamar sewanya. Langkahnya semakin lebar saat akan mencapai pintu kamar sewanya. Tapi sebuah suara membuatnya berhenti dan menoleh, seorang bibi yang terpisah dua kamar dari kamar sewanya memanggilnya. Senyum suminggrahnya luntur saat bibi itu mengatakan hal yang tidak ingin didengarnya.
Dia segera berbalik menuju tangga, langkah cepatnya semakin dipacu menuruni tangga. Wajah gembira dan suka citanya berubah kepanikan dan kecemasan. Mata amber yang berbinar riang itu berubah kelabu. Sekelabu langit yang mulai berganti malam itu. Pemuda itu kembali berlari melewati para pejalan kaki, bahkan sesekali tanpa sengaja menabrak bahu mereka. Perasaan kalut mulai membuatnya berpikir macam-macam.
Pemuda itu segera memasuki sebuah gedung rumah sakit. Langkah kakinya segera bergerak menuju bagian administrasi, menanyakan keberadaan sang paman pada salah satu suster yang berjaga di sana. Pijakan melemas ketika tiba di sebuah ruang intensif dengan jendela besar yang menampilkan orang yang telah merawatnya selama satu dekade itu terbaring dengan berbagai alat penunjang hidup.
Ucapan bibi tetangganya kembali terngiang di kepalanya,
“Pamanmu mengalami kecelakaan saat kembali dari membeli hadiah natal untukmu”
Kabar itu sungguh menghancurkan pertahanannya yang sudah ditatanya selama ini. Ketakutannya seakan kembali terulang seperti delapan tahun lalu. Manik amber itu berkilau, dia mendekat pada kaca besar itu dan meletakkan telapak tangannya disana. “Aku tidak butuh hadiah paman, aku tidak butuh itu” gumamnya, tangannya yang lain masih menggenggam surat itu meremas kuat.
“Permisi, apa kamu keluarga pasien?”
Pemuda itu menoleh, seorang perempuan muda memakai jas dokter menatapnya lurus. Rambut yang agak ikal berwarna cokelat itu menambah kesan cantik pada wajah mungilnya. Pemuda itu hanya mengangguk pendek, “Ikut saya ke ruangan saya, ada yang ingin saya jelaskan perihal keadaan pasien” ucapnya. Mereka kemudian berjalan menuju salah satu ruangan dan sang dokter itu mempersilahkannya untuk masuk. Mereka duduk berhadapan dan sang dokter mulai menjelaskan keadaan pamannya itu.
Pemuda itu menatap langit malam yang kelam di bangku taman rumah sakit. Tidak peduli jika angin malam musim dingin menusuk tulangnya. Ucapan dokter itu terus berputar di dalam kepalanya. Malam itu seharusnya dia menikmati waktunya bersama sang paman. Mendekorasi pohon natal atau membuat kudapan dan memakannya sambil menonton televisi bersama. Setelah delapan tahun perjalanannya dia harus kembali merasakan kepergian.
Dokter itu mengatakan bahwa sang paman tidak akan bertahan lama karena dampak dari kecelakaan itu. Bahkan denyut jantungnya sempat terhenti saat berada di dalam ruang operasi. Satu tetes air membasahi punggung tangannya yang meremat celananya. Menyumpahi takdir yang begitu kejam mempermainkannya. Hatinya tidak siap, tidak akan pernah siap untuk melepas keluarga satu-satunya itu. Luka lama ditinggalkan itu kembali tertoreh.
“Saya akan beri waktu kamu hingga akhir tahun untuk menyiapkan diri. Saya tahu ini pasti berat untukmu” ucapan dokter itu115Please respect copyright.PENANAsp8qvGrWJP