Musim semi sudah berjalan di bulan April, tapi nampaknya cuaca cerah, sejuk nan hangat itu tidak mau berlama-lama tinggal. Siang itu, cafe cukup ramai meja-meja nampak dipenuhi oleh pelanggan. Belum antrian di meja kasir yang cukup mengular itu, ketika mendekati sore hujan tiba-tiba datang mengguyur. Membuat pelanggan yang akan keluar dari cafe mendesah kecewa, di bawah guyuran hujan itu seseorang tengah berjalan.
Dengan menggunakan tudung hoodie putihnya ia terus berjalan di bawah naungan hujan. Hingga langkahnya terhenti di depan sebuah ruko, ruko yang beberapa hari lalu baru mulai buka. Tampak beberapa kerajinan dari tembikar dan keramik berjajar di jendela besar toko. Manik ambernya terus menyusuri ke dalam toko yang nampak kosong itu.
“Noel?” sebuah suara membuatnya menoleh
Elora menatapnya bingung, dia baru saja pergi berbelanja untuk peralatan melukis dan kerajinannya. Tidak menyangka akan ada seseorang yang berdiri di depan rukonya, dan lebih mengejutkan lagi itu adalah Noel. “Sedang apa disini?” tanyanya apalagi melihat hoodie yang dibalut kemeja biru kotak-kotak itu telah basah oleh hujan. Belum sempat Noel menjawabnya Elora sudah memintanya untuk masuk ke dalam. “Minumlah dulu” Elora memberikan segelas teh herbal pada Noel yang berbalut handuk besar, menerimanya sedikit sungkan.
Mereka berada di rumah Elora yang berada di lantai dua, tidak banyak perabotan yang ada di ruangan itu. Hanya ada dapur mini yang dibatasi oleh meja bar, meja pendek dan sofa panjang tempatnya duduk di ruang santai itu. Tepat di samping pintu kaca yang mengarah ke balkon, masih menampilkan tetesan hujan yang menampar kaca dengan irama acak. Noel yang masih asik menatap sudut-sudut ruangan itu tidak menyadari kedatangan Elora membawa semangkuk sup padanya.
“Makanlah dulu selagi hangat dan menunggu bajumu kering” ujarnya
“Eh, tidak perlu bi. Jadi merepotkan” ujar Noel
“Tidak apa-apa, kebetulan saya buatnya agak banyak. Nanti saya ajak Stellar makan disini juga” ujar Elora ramah
“Terimakasih banyak bi” ujar Noel
Noel terhenyak. Rasa sup itu terasa tidak asing di lidah dan ingatannya, tapi dia baru pertama kali mencoba sup itu. Mendiang pamannya bahkan tidak pernah membuat sup seperti itu selama ini. Ah, hatinya berdenyut sakit saat mengingat pamannya itu. Orang yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali itu sudah sangat banyak membantunya. Ekspresi itu tentunya tidak luput dari perhatian Elora, dia ingin sekali bertanya pada pemuda berumur dua puluh tahun itu. Tapi keraguan membuatnya urung.
“Uhm, bibi tidak membuka toko?” tanya Noel
“Kelasnya dibuka sore nanti, kalau toko memang hari ini libur”
Seketika itu Elora menyadari sesuatu.
“Ah! Saya lupa menyiapkan kelas melukis hari ini! Saya tinggal ya” ujarnya
Elora segera bergegas keluar dari rumahnya dan menuruni tangga menuju ruangan yang digunakan untuk kelas kerajinan dan kesenian itu. Ia lalu menata barang-barang yang akan digunakannya, “Perlu bantuan bi?” suara itu membuat kegiatannya terhenti lalu menoleh. “E-eh, tidak perlu, kembalilah ke atas dan hangatkan dirimu” tolak Elora sambil tersenyum. Noel ingin membantah, tapi memilih untuk diam memperhatikan. Elora sibuk berjalan mondar-mandir hingga beberapa kali barang yang dibawanya jatuh.
“E-e-eh!!”
“Hati-hati bi”
Sebuah tangan berhasil menahan tumpukan kanvas yang akan jatuh dari tangannya. Segera Noel mengambil sebagian kanvas-kanvas itu dan meletakkannya di easel yang sudah di tata. Akhirnya Noel membantu Elora menyiapkan kelas melukisnya hari itu, “Terimakasih lho, kan tadi sudah dibilang tidak perlu” ujar Elora masih lengkap dengan senyum tulusnya. Noel hanya tersenyum tipis membalas ucapan Elora, manik ambernya menatap kanvas-kanvas kosong disana.
“Ibu! Ajari aku melukis! Aku ingin menjadi pelukis hebat seperti ibu!”
Noel mengernyit, dengungan ingatan itu terngiang tiba-tiba. Kenapa perasaan itu terasa sangat tidak asing baginya. Seperti tawa Elora dan rasa kukis tempo lalu, tapi bagaimanapun Noel tidak bisa menggali ingatannya lebih jauh lagi. Bahkan wajah sang ibu seakan menghilang di memori otaknya. Hal itu menyentak kesadarannya. Sebuah pertanyaan muncul begitu saja di benaknya.
Tunggu, apa aku punya ibu?
Elora tahu, pemuda disampingnya itu tengah kebingungan dengan ingatannya sendiri. Kanvas-kanvas kosong itu sepertinya membuat memori masa kecilnya hadir, meski hanya terlihat samar. Perasaan bersalah itu menamparnya, hatinya berdenyut nyeri melihat pemuda disampingnya ini merasa asing dengan dirinya. Luka yang ditorehkannya di masa lalu tentunya begitu besar, sehingga bahkan presensi sosok ibu di ingatannya menghilang begitu saja. Manik almond itu sudah berkaca-kaca, siap untuk mengalirkan tetesan air mata yang ditahannya.
Maafkan ibu Noel, maafkan ibu. Ibu akan menebus semuanya, semuanya.
ns 15.158.61.54da2