Stellar itu sepertinya memang harus dijauhkan dari dapur atau masuk ke deretan teratas daftar hitam dunia memasak. Bagaimana bisa dia mengira pala bubuk adalah kayu manis bubuk, jelas saja kue cinnamon rolls itu terasa sangat aneh dan pedas. Baik Noel maupun Artemis cukup beruntung karena hanya mendapat kesialan pada keanehan rasanya, tidak seperti kukis rumahan atau sup labu kuning dan tumis daging tempo lalu.
“Sebaiknya berhenti saja dengan keinginanmu memasak itu” ucap Noel
“Memang apa yang salah dari itu?” tanya Stellar
“Apa yang salah? Kau masih bertanya apa yang salah? Perlu kuingatkan?”
Stellar terkesiap, ucapan Noel sedikit menohoknya.
“Kukis waktu itu kau menggunakan susu basi, lalu sup labu kuning yang terlalu banyak bawang bombay dan tumis daging yang kau marinasi lalu sekarang kue cinnamon rolls isi pala bubuk!”
“Lalu uji coba besok apalagi?” sambung Noel
Stellar sungguh ingin mencekik leher Artemis yang tengah terkikik.
“Namanya juga belajar kan Noel, biasa saja” sang manager menginterupsi
“Kalau begitu kenapa kakak tidak mencobanya saja?”
Sang manager meneguk ludah saat Noel menyodorkan potongan sisa kue cinnamon rolls padanya. Seulas senyum miring tersungging di wajah Noel, sungguh meledek sekali, netra ambernya benar-benar berkilat menantangnya. Si manager ingin menolak, tapi ketika melihat wajah Stellar yang menatapnya sendu membuatnya urung. Diambilnya potongan kue itu dan menggigitnya perlahan, aroma dari pala bubuk itu langsung menguar meski sudah bercampur dengan gula namun rasanya tetap saja.
“Ukh... astaga” gumamnya
Terlihat Noel nampak mendengus puas sekali.
“Kau lihatkan?” Noel kembali menatap Stellar
“Sebaiknya menyerah saja”
Serius, ucapan Noel itu tajam dan menohok sekali.
Stellar kehilangan pembelaan, ini kali ketiga masakannya gagal. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kegagalan masakan, tapi ini kali ketiga masakannya membawa petaka. Apa aku seceroboh itu?, pikir Stellar sambil merenungkan kecerobohannya dalam memasak makanan. Lamunannya buyar saat mendengar Artemis berseloroh asal, “Aku yakin sekali kalau kak Stellar ikut kompetisi memasak dia akan jadi juara satu dalam meracuni para juri”. Tawa manager dan staf yang ada disana berderai diikuti amukan Stellar yang berusaha menangkap Artemis, sementara Noel hanya menggelengkan kepalanya sambil mendengus geli.
73Please respect copyright.PENANACo3vRXHrI4
73Please respect copyright.PENANAOEf3upIDr5
73Please respect copyright.PENANAn2kPocR2dw
73Please respect copyright.PENANAOv0eYM8rws
73Please respect copyright.PENANAZcjGlfmiFc
73Please respect copyright.PENANA1fzf6Wryx5
“Mana birku?!!” teriak seseorang
“A-ayah, paman pemilik toko hari ini pergi. Ja-jadi uangnya belum diberi”
Sebuah botol kaca terlempar ke dinding, “Aku tidak peduli!! Beli kan sekarang!”
“A-ayah, a-aku tidak ada uang lagi. Uang kemarin sudah kuberikan padamu”
“Aku tidak mau mendengar alasanmu sialan!” ditariknya rambut itu kasar
“Sekarang, bawakan aku bir atau kupukul adikmu”
Anak laki-laki itu mengerang ketika di hempaskan ke lantai dengan kasar.
“Tidak, yah! Jangan adikku, jangan Luna” mohonnya
“Kalau begitu belikan aku bir sekarang! Aku tidak peduli jika kau harus mencuri atau menjual tubuhmu itu!”
Dia segera membawa langkah kakinya keluar dari rumah itu, berlari secepatnya menuju salah satu toko kelontong yang ada di sudut jalan. Tidak peduli jika dia meninggalkan jaket lusuhnya, tidak peduli jika suhu diluar bisa membuatnya menggigil. Meski musim dingin baru saja tiba. Anak laki-laki itu tidak peduli, karena yang ada dipikirannya adalah untuk menyelamatkan adik satu-satunya itu. Begitu sampai di toko dia mencoba memohon pada pemilik toko, untuk memberinya beberapa kaleng bir dan akan segera dibayarkannya jika uangnya telah didapatkan. Seorang anak kecil yang usianya belum genap sepuluh tahun tengah memohon dengan wajah penuh lebam dan raut keputusasaan hanya untuk beberapa kaleng bir. Hanya untuk menyelamatkan satu nyawa bulan kecilnya.
Setelah memeluk erat beberapa kaleng bir, langkahnya segera kembali dipacu menuju satu-satunya tempatnya tinggal. Dia tidak mau kehilangan banyak waktu, setiap detiknya begitu berharga untuknya. Dan begitu pintu itu terbuka, netra ambernya membulat sempurna, tubuh mungilnya mematung bahkan kaleng-kaleng bir yang dipeluknya erat telah jatuh ke lantai menggelinding ke berbagai arah. Umurnya belum genap sepuluh tahun, tapi entah kenapa apa yang dilihatnya itu telah menghancurkan jiwanya.
73Please respect copyright.PENANAptTGDTU8QY
73Please respect copyright.PENANA6VkVBHZoWY
73Please respect copyright.PENANAwcUOx5LCC0
73Please respect copyright.PENANAVfOs0uOdqC
73Please respect copyright.PENANA750kM3T6I1
73Please respect copyright.PENANAq241G0cm83
Noel tersentak dari tidurnya, dilihatnya jam di ponselnya. Pukul tiga dini hari. Keringat sudah membanjiri tubuhnya, netra ambernya bergerak gelisah. Deru napasnya begitu tersenggal, dia terus memukul dadanya berulang kali. Mimpi itu terus saja menghantuinya, dan Noel akan terbangun di jam tiga dini hari. Pecahan puzzle di kepalanya tidak pernah lengkap, dan Noel tidak pernah menemukan pecahan lainnya. Rasa sakit itu terus menyiksanya dan tak kunjung reda.
Dengan tergesa Noel menyibak selimut hangatnya, berjalan menuju meja belajarnya dan membuka lacinya. Mengeluarkan sebuah botol yang langsung dibuka olehnya membuat beberapa butir pil itu berceceran di atas meja. Tanpa mementingkan dosis yang telah diberikan Noel meraup butir semampunya, dia ingin rasa sakitnya hilang segera. Menelannya begitu saja tanpa bantuan air dan membiarkan tubuhnya merosot jatuh ke lantai dengan napasnya yang masih sedikit tersenggal. Sebutir air mata lolos begitu saja, mengalir melewati pipinya.
“Maafkan aku” gumamnya
“Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku”
Pemuda itu menarik kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.73Please respect copyright.PENANAxkG9062jyd