“Lusa jangan lupa ya!!”
Eve berujar ketika pemuda itu keluar dari mobil. Setelah mendapat anggukkan pelan itu dia mulai melajukan mobilnya kembali. Pemuda itu berbalik ketika mobil itu sudah menghilang dari pandangannya. Berjalan memasuki rumah sewa tiga lantai itu, menaiki tangga yang mulai berderit itu menuju kamar sewanya.
108Please respect copyright.PENANA0wz8ZVIJGM
108Please respect copyright.PENANAe8oRYDxbpz
108Please respect copyright.PENANAKlcmoGwjzl
108Please respect copyright.PENANA4FnuOUTjtV
108Please respect copyright.PENANA1O8g2dfNOU
Mata amber itu menatap lobby rumah sakit yang sedikit sibuk. Beberapa dokter dan suster berlalu lalang dengan kesibukan mereka. Beberapa suster menyapanya ramah, termasuk bagian administrasi. Salah satu suster mengatakan bahwa Eve sudah menunggunya di ruangannya. Setelah mengangguk sambil berterimakasih lalu berjalan pergi. Menaiki lift menuju lantai tiga, berjalan di koridor yang cukup lenggang sebelum berhenti di salah satu pintu.
“Ah!! Datang juga!!”
Begitu pintu terbuka pemuda itu disambut sapaan riang orang yang ada di dalam ruangan itu. Eve segera menyuruhnya untuk duduk, dia segera mengambil sebuah bingkisan yang diletakkannya di bawah mejanya. “Untukmu!” ujarnya riang, bingkisan kotak itu terbungkus sederhana hanya kertas berwarna putih dan sebuah pita biru di sudutnya.
“Kakak tidak perlu sampai begini”
Eve menggeleng.
“Aku sudah meninggalkanmu dua bulan ini. Jadi diterima ya! Lagian kan jarang sekali aku memberimu hadiah” paksanya
Pemuda itu hanya mendesah pasrah, perlahan dia mengambil bingkisan itu. Menggumamkan terimakasih pada Eve yang membuatnya semakin mengembangkan senyum manisnya. Dia juga mengeluarkan beberapa kotak kudapan untuk mereka makan bersama sambil bercengkrama. Eve sesekali terkekeh sampai tertawa saat mendengar cerita pemuda itu yang sebenarnya tidak sedang membuat lelucon atau bergurau.
Sampai pembicaraan mereka mulai serius.
“Kamu harus menikmati hidupmu, waktu terus berjalan” ujar Eve
“Waktuku sudah berhenti dua tahun lalu, kak. Duniaku sudah berhenti berputar sejak saat itu”
Eve memandang pemuda itu sendu.
“Tidak bisakah kamu merelakan mereka? Menata kembali hati dan jiwamu dan memulai hidup yang lebih baik? Semua yang terjadi karena garis takdir, karena itu bentuk kasih Tuhan pada umatnya”
“Lantas kenapa Tuhan tidak pernah membiarkanku bahagia, kak?!” suaranya meninggi
“Jika Tuhan mencintai dan mengasihi umatnya, kenapa Tuhan selalu membuatku bersedih selama ini?! Kenapa Tuhan membuat garis takdirku harus kehilangan orang-orang yang kusayang, kak?!”
Eve segera berdiri dan memeluk pemuda itu, dia tahu bahwa tidak seharusnya dia menekannya terlalu jauh. Eve bisa mendengar suara napasnya yang terputus-putus dan segera melonggarkan pelukannya. Dia menggoyangkan kedua bahu pemuda itu, kedua matanya terpejam menahan sesak. Dengan segera Eve menyambar ponselnya dan menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.
108Please respect copyright.PENANAzswTxVzTsb
108Please respect copyright.PENANACdHV8UkjTT
108Please respect copyright.PENANAWBs5Xo0Fus
108Please respect copyright.PENANAbsCmib3f5C
108Please respect copyright.PENANAGNu2fgNgey
108Please respect copyright.PENANAsln9cRgCEd
108Please respect copyright.PENANA6j4d8nOvSv
“Eve, berapa kali kukatakan padamu? Dia perlu waktu, kenapa kamu buru-buru sekali sih?”
Eve menunduk pasrah, ini yang kesekian kalinya dia mendapat omelan dari rekan kerjanya itu. “Aku hanya ingin dia merelakan semuanya, Kev” cicitnya yang masih belum berani menatap lawan bicaranya. Orang di hadapannya mendesah sebal kedua tangannya yang awalnya terlipat di depan dada berpindah di sisi pinggangnya.
“Aku tahu, aku juga berharap seperti itu. Tapi kamu tahu sendiri kan apa yang dia alami selama ini? Luka karena ditinggalkan tidak semudah itu sembuh, Eve. Waktu delapan tahun yang dia habiskan bersama orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya pun belum sembuh. Lalu dua tahun lalu dia harus kembali kehilangan, kamu bahkan bisa melihat luka dan hancurnya dia selama ini kan?”
“Aku hanya takut dia berpikir macam-macam, Kev” ujar Eve
“Kita berjuang bersama, Eve. Kita akan membantunya pelan-pelan”
Eve akhirnya berani menatap ke dalam bola mata rekan kerjanya itu. Tidak lama dia mengangguk menyetujui. Mereka berdua kemudian saling melempar senyum, sebelum menoleh ke dalam ruangan di sebelah mereka. Menatap kearah pemuda yang tengah tertidur di ranjang rumah sakit itu.
Kita akan menatanya pelan-pelan. Aku selalu berdoa suatu saat nanti kamu bisa menikmati hidupmu tanpa kepalsuan. Kamu bisa melewati ketakutanmu suatu saat nanti.108Please respect copyright.PENANArhuH07rOwZ