Sementara kulihat Bryan masih terus mengocok penisnya yang tidak disunat itu di layar ponselku, aku sendiri mempercepat gerakan tanganku memaju mundurkan dildo di vaginaku.
Desahan kami berdua semakin intens sehingga kami mulai meracau tidak jelas, hingga akhirnya kami berdua mencapai puncak kenikmatan dengan bersamaan secara virtual.
'Aku sama sekali gak nyangka Wid, ternyata kamu binal juga hehehe...' ucap Bryan melalui panggilan video call kami.
Aku kembali merebahkan tubuhku setelah sebelumnya sempat membersihkan lantai kamarku dari cairan orgasmeku barusan.
Kami masih berhubungan melalui video call, aku sendiri sudah merapikan daster dan jilbabku, meski kami video call sambil aku sesekali meremas payudaraku.
"Sekarang kamu jangan terlalu pikirin hubunganmu sama Citra itu ya Bry, jalanin aja kayak biasanya dan kamu ngalah aja kalo dia mau seenaknya sendiri. Sekarang kan ada aku, kamu bisa kok pake tubuhku buat muasin nafsu kamu, tapi tolong jangan sampe pacarku tahu ya Bry," ucapku manja, seakan aku bersedia memuaskan nafsu Bryan kapanpun dia menginginkannya.
'Eh, Wid. Tapi pacar kamu siapa sih? Kok aku gak pernah lihat kamu pacaran,' tanya Bryan.
"Fajar..."
Bryan terhenyak kaget mendengar jawabanku barusan, sepertinya Bryan tidak percaya jika aku punya hubungan spesial dengan Fajar.
'Hah? Seriusan? Kamu pacaran sama si culun itu? Kamu kok mau sih Wid? Hehe...'
"Ya karena dia baik, lagian punya dia juga besar dan panjang, hihi..."
'Jadi, kamu udah pernah ngentot sama Fajar?' Tanya Bryan seakan masih tidak percaya dengan pengakuanaku.
"Belum sih, cuma pernah sekali ngulum punya dia aja, udahlah Bry, jangan bahas itu lagi, lagian aku juga mau jadi bahan pemuas kamu kan."
Aku agak merasa kesal saat Bryan menyinggung pacarku, sehingga tak lama kemudian Bryan meminta maaf padaku, mungkin karena dia takut kalau aku berubah pikiran dan tidak mau melayani nafsunya.
'Iyadeh... Maaf ya... Janji aku bakal jaga rahasia kita.'
"Iyaa Bry, udahan dulu ya. Nanti takutnya Fajar nelpon aku terus akunya lagi di panggilan lain terus dia mikir aneh-aneh," ucapku yang tanpa menunggu balasan darinya, aku langsung menutup video call kami.
Kulihat lagi aplikasi chat di ponselku dan masih seperti sebelumnya, Fajar belum juga membalas pesanku. Bahkan ponsel Fajar masih tidak aktif seperti sebelumnya.
Tak lama kemudian aku bergegas mandi untuk menyegarkan tubuhku. Tapi sebelum itu, aku melepas dasterku dan hanya menyisakan jilbabku yang masih menempel di kepalaku.
Aku berdiri di depan cermin melihat tubuhku sendiri yang sangat cantik dan seksi. Aku mengambil ponselku dan memotret bayangan diriku sendiri di cermin dengan tanganku menggenggam payudaraku sendiri.
Ku tempatkan ponselku tepat di wajahku sehingga ponselku menutupi wajahku sepenuhnya, lalu aku mengirim foto itu pada Bryan.
'Nih Bry, buat bahan kamu ngocok hihihi...' Isi pesanku pada Bryan.
Setelah aku menaruh ponselku lagi, aku kembali melihat bayangan diriku sendiri di cermin. Tubuhku yang sudah telanjang tanpa sehelai benangpun kecuali jilbab di kepalaku.
Kedua tanganku meremas payudaraku perlahan, ah aku sudah jadi cewek murahan ya? Tidak, bukan murahan tapi gratisan.
Aku dengan suka rela mengirim foto telanjangku pada Bryan, bahkan aku bersedia memuaskan nafsunya kapanpun dia mau.
Tak ingin memikirkannya lagi, aku bergegas menuju kamar mandi setelah sebelumnya mengambil handukku.
Air dingin di pagi hari menjelang siang ini membuat pikiran dan tubuhku kembali segar. Aku kembali memakai daster dan jilbab instan yang kupakai semalam tanpa pakaian dalam sama sekali.
Kulihat jam ternyata sudah pukul sebelas siang, itu artinya cukup lama aku mengobrol dengan Bryan di telepon.
Kemudian aku memakai mukena lalu melantunkan ayat-ayat di kitab suci sembari menunggu waktu shalat dzuhur.
Setelah itu aku kembali merebahkan tubuhku di kasur, kulihat notif di ponselku yang ternyata Fajar baru saja membalas pesanku.
Ternyata sebenarnya Fajar sudah terbangun sejak pagi tadi, tapi dia sibuk bersih-bersih membantu orang tuanya sehingga tidak sempat membalas pesanku.
Aku merasa kagum dengan Fajar yang memang sangat rajin dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Masih dengan posisiku sambil rebahan, Fajar memintaku mengangkat panggilannya.
Aku mulai mengobrol dengan Fajar lewat panggilan telepon, dia ingin sekali mendengarkan suaraku karena sudah merindukanku, padahal baru kemarin kami berdua terakhir bertemu.
Cukup lama kami berdua mengobrol dan sesekali bercanda, hingga akhirnya tak terasa aku tertidur karena lelah, mungkin lelah karena habis vcs sama Bryan.
Aku terbangun sekitar pukul empat sore, kulihat ponselku saat teringat tadi sempat mengobrol dengan Fajar sebelum akhirnya aku tertidur.
'Maaf ya sayang, aku tadi ketiduran, tadi habis bersih-bersih kamar soalnya,' isi pesan chatku pada Fajar.
Setelah shalat ashar, aku duduk di kursi depan meja belajar, lalu aku membuka laptopku yang memang sangat jarang kugunakan.
Karena bingung juga mau ngapain, akhirnya aku membuka browser dan mencari website streaming film menggunakan wifi yang memang sudah disediakan di kosanku.
Aku sebenarnya sangat suka menonton film apalagi film genre horor dan action. Tapi semenjak aku naik ke kelas dua belas, aku jadi jarang menonton film karena ingin fokus dengan sekolahku.
Hingga akhirnya aku membuka salah satu film horor yang baru saja rilis, ternyata ada banyak juga film-film yang baru rilis semenjak terakhir kali aku menonton film di laptopku.
Sering kali aku terkejut dan takut dengan jumpscare di film yang aku tonton. Meski aku adalah seorang akhwat muslimah tapi aku juga merasa takut jika banyak adegan-adegan yang seram dan mengejutkan.
Sampai tak terasa ternyata sudah pukul tujuh malam, seketika aku teringat dengan janjiku sama Mang Tejo. Ia menyuruhku menyusulnya ke pos di ujung gang yang sebenarnya merupakan pertigaan.
Ah bagaimana ini, akupun bergegas mandi, meski sebelumnya aku sudah mandi tapi aku hanya ingin tubuhku terlihat lebih segar dan harum.
Setelah itu, aku mengambil sebuah gamis biru muda berbahan jersey dan agak ketat yang waktu itu dibelikan oleh Pak Evan, lalu kuambil jilbab lebar segi empat berwarna putih.
Aku memakai gamis dan jilbabku tanpa pakaian dalam sama sekali, kuambil ponselku dan kulihat beberapa pesan dari Bryan dan Fajar, tapi aku mengabaiaknnya. Lalu kumasukkan ponsel itu kedalam tas selempang kesayanganku.
Aku keluar kamar kos dengan jantungku sedikit berdebar, apa Mang Tejo mengajakku melakukannya di pos ya? Tapi di pos ujung sana kan biasanya banyak orang ronda.
Ah, putingku saja sudah mulai mengeras, namun untungnya kain jilbabku agak tebal, sehingga masih bisa menutupi bagian payudaraku yang montok dan pastinya berguncang saat aku sedang berjalan menyusuri jalan gang yang sudah lumayan sepi, karena sudah sekitar pukul delapan kurang lima belas menit.
Aroma parfum yang sempat kusemprotkan ke tubuhku juga sudah menyebar. Sehingga membuat beberapa pasang mata laki-laki yang kebetulan sedang nongkrong di jalan maupun di depan rumah mereka, seketika memandang kearahku.
Ditambah lagi lekuk tubuhku terlihat jelas sehingga membuat pantatku yang sekal dan semok ikut menjadi sasaran empuk mata mereka.
Sekitar kurang dari sepuluh menit aku berjalan, akhirnya aku sampai di pos yang dimaksud Mang Tejo, ia memang biasanya mangkal di pos ini.
Aku bisa sedikit bernafas lega, kulihat selain Mang Tejo hanya ada dua orang sedang nongkrong di pos tempat Mang Tejo mangkal. Sehingga aku tidak terlalu khawatir jika harus melayani mereka bertiga.
Ah, tidak. Kenapa sisi liarku tiba-tiba memikirkan hal ini? Padahal aku hanya mau melakukannya dengan Mang Tejo, tapi kenapa aku berpikir seolah harus melayani ketiganya?
Apa aku sudah menjadi lonte akhwat sepenuhnya? Sehingga aku berpikir seolah aku harus melayani ketiganya? Atau aku menginginkan lebih dari ini? Ah, vaginaku mulai terasa basah saja.
"Eh, datang juga akhirnya. Saya sudah nunggu Neng Widya dari tadi loh," ucap Mang Tejo membuyarkan pikiran kotorku dengan senyum genit terlihat jelas di wajahnya.
"Siapa tuh Jo?" Tanya salah satu dari mereka.
"Ada deh, hahaha..."
"Yah... Bang Tejo gak asik ah," ucap temannya yang lebih muda.
Dua orang yang kembali sibuk di pos itu kembali sibuk bermain catur di depan teras pos. Aku menerka laki-laki itu berusia sekitar tiga puluhan, sedangkan yang satunya lagi berusia sekitar dua puluh limaan.
"Mang, nasi goreng dulu ya satu, saya laper nih..." Ucapku sambil mengelus perutku yang tiba-tiba saja sudah keroncongan.
"Oke, Neng... Mamang buatin dulu yak, tapi..." Mang Tejo menggantung ucapannya, lali ia mendekat ke arahku dan berbisik di dekat telingaku.
"Tapi jadi kan Neng? Si adek udah tegang nih," ucap Mang Tejo berbisik.
Namun setelah itu tangan Mang Tejo menampar pelan pantatku dan sedikit meremasnya.
"Ahh.. Mang, sabar dulu napa, tapi dimana mang?"
"Di dalam pos tuh Neng, enak. Tempatnya luas kok, lagian nanti juga bisa gantian," bisik Mang Tejo kembali meremas pantatku.
"Hah? Sama mereka berdua Mang? Kok gak bilang sih?"
"Bukan mereka berdua Neng, tapi sama mereka bertiga, tuh lihat," ucap Mang Tejo lalu pandangannya menuju ke arah pos dimana dua orang tadi sedang sibuk main catur.
Namun saat pandanganku mengikuti kemana Mang Tejo melihat, aku terhenyak kaget. Karena saat itu juga muncul satu lagi pria berusia sekitar tiga puluh tahunan baru saja keluar dari dalam pos.
Ah, sepertinya aku bakal kena gilir lagi nih pikirku, bukan, tapi aku bakal kena gangbang lagi. Aku melihat lagi kearah Mang Tejo yang saat itu tersenyum penuh kemenangan padaku.
Aku hanya menghembuskan nafasku panjang, seakan pasrah jika harus memuaskan nafsu mereka berempat.
"Iya deh, tapi plis Mang, jangan sampe Pak Joko tahu ya, bisa diusir saya nanti," ucapku memelas pada Mang Tejo.
"Janji deh Neng, lagian kalo Neng Widya diusir saya gak bisa nikmatin tubuh Neng Widya lagi dong, padahal baru juga pertama kali mau cicipin, hehehe..."
"Ahh..."
Setelah mengatakan itu, Mang Tejo dengan beraninya meremas salah satu payudaraku. Sehingga membuatku tak sengaja mendesah dan membuat tiga orang yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku disini hanya melongo, memandang kearahku.
Aku hanya bisa menutup mulutku dengan kedua tanganku, sedangkan Mang Tejo hanya cengengesan lalu berjalan menjauhiku.
"Udah Neng, tunggu dulu disana sama mereka. Gak sabaran banget sih, baru juga mau saya buatin," ucap Mang Tejo dengan tatapan genit ke arahku.
"Heh Bre, jangan bengong aja kasih tempat duduk gitu biar mbaknya gak berdiri terus, kasian..." Lanjut Mang Tejo menegur teman-temannya.
"Ehh, iya bang sorry... Duduk sini mbak, gabung sama kita, atau mbaknya bisa main catur?" Ucap orang yang paling muda dari mereka.
"Eh, elu baru bisa main kemarin aja udah songong... Gabung aja sini mbak, jangan dengerin mulutnya si Andre itu, duduk duli sini," ucap seorang pria yang baru saja keluar dari dalam pos, setelah sebelumnya sempat menegur seorang pemuda yang bernama Andre itu.
Akupun berjalan mendekati mereka, mengambil salah satu kursi plastik yang pria itu berikan padaku, aku berusaha tersenyum ramah meski gugup karena ulah Mang Tejo.
"Permisi... Saya duduk di sini boleh kan bang? Pengen lihat orang main catur," ucapku lalu menggeser kursiku lebih dekat dengan mereka.
ns 15.158.61.8da2