Aku sampai di terminal tepat pukul tujuh pagi, selama di perjalanan aku merasa khawatir jika saja sperma Pak Anwar yang masih menetes dari vaginaku membasahi gamisku.
Setelah berterima kasih pada Pak Anwar, aku bergegas ke toilet umum untuk membersihkan sisa sperma di vaginaku.
"Tapi kan tadi sudah pak... Masa belum puas?"
"Ngentotin lonte akhwat kayak kamu gak akan ada puasnya Widya."
Namun saat aku hendak ke toilet umum, Pak Anwar memaksaku untuk melayaninya sekali lagi. Sehingga aku dengan terpaksa menurutinya.
Setelah masuk kedalam salah satu bilik di toilet umum yang kebetulan sedang kosong, Pak Anwar langsung mendorong tubuhku hingga aku bersandar di dinding.
Dengan gemas tangan Pak Anwar meremas kedua payudaraku, ia juga melumat habis mulutku.
Ia menyuruhku berjongkok lagi di hadapannya dan menyuruhku mengulum penisnya.
"Jangan harap kamu bisa bergi sebelum saya merasa puas."
Aku berusaha memberikan servis terbaikku melalui mulutku, namun sesaat kemudian ia menyuruhku berdiri.
Ia segera menaikkan rok gamisku hingga diatas pinggangku, dia mengangkat kaki kananku lalu ia menggesekkan batang penisnya yang masih tegang itu di permukaan vaginaku.
"Ahh... Cepetan pak, nanti keburu ketinggalan bus."
"Udah gak sabar saya entot ya? Emang dasar lonte akhwat."
"Ahh... Ahh... Bukan itu paakk... Nanti keburu busnya jalan duluan, ahh..."
Namun, ia tak menghiraukanku sama sekali, ia masih sibuk menggesekkan penisnya di vaginaku. Saat sesekali penisnya menyentuh klitorisku, tubuhku terasa seperti tersengat listrik, aku semakin tidak sabar ingin memasukkan penisnya kedalam vaginaku.
Saat aku ingin membuka mulutku, ia langsung mengulum mulutku dengan brutal. Tak hilang akal, tangan kananku berusaha meraih penisnya dan berusaha memasukkan penisnya kedalam vaginaku.
"Mphhh..." Desahku saat penis Pak Anwar sepenuhnya masuk kedalam liang vaginaku.
"Hahaha... Ternyata emang akhwat lonte, bilang aja kalo kamu suka kontol,"
Kali ini ia kembali menggenjotku dengan kasar, tak lupa juga ia kembali meremas kedua payudaraku dengan brutal.
Beberapa menit kemudian, karena ia tak kunjung keluar, ia menyuruhku berbalik. Posisiku jadi menungging dengan kedua tanganku bertumpu pada dinding toilet.
Aku hanya bisa mendesah kecil karena takut desahanku akan terdengar sampai ke luar.
Tak lama kemudian kurasakan penisnya mulai berkedut menandakan ia akan ejakulasi. Kubiarkan apa yang ia inginkan, yang penting aku bisa segera keluar dari toilet ini.
Sensasi bersetubuh di tempat umum membuat birahiku mulai naik, ah tapi sudah terlambat karena sesaat kemudian akhirnya Pak Anwar kembali menyemburkan spermanya didalam rahimku.
Kali ini ia menggunakan ujung rok gamisku untuk membersihkan sisa sperma di penisnya. Namun, saat aku ingin membersihkan vaginaku, ia melarangku dan menyuruhku agar cepat keluar.
"Cepat keluar, atau saya akan memberi tahu semua orang ada lonte akhwat sepertimu berada di toilet pria!"
Ya, kami melakukannya di toilet pria. Dengan terpaksa aku menurutinya, ku rapikan kembali jilbab segi empat dan gamisku sebelum akhirnya aku keluar toilet.
Ah, padahal nafsu birahiku baru saja bangkit, tapi kenapa aku malah disuruh keluar. Padahal sebentar lagi aku juga akan orgasme.
Dengan sisa-sisa nafsu yang masih belum terpuaskan, aku bergegas menaiki bus yang akan mengantarku pulang kembali ke kos.
Ternyata keadaan di dalam bus sudah lumayan ramai, hanya tinggal beberapa kursi saja yang kosong di bagian belakang.
Aku memilih duduk di kursi pojok kanan belakang dekat jendela kaca bus. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri karena saat di toilet tadi aku masih belum puas.
Namun, ketika kursi sudah mulai penuh aku mencium samar-samar aroma sperma. Ya, aroma itu sudah pasti berasal dari diriku sendiri, karena hanya tertutup oleh kain gamis yang tipis.
Aku mencoba menghidupkan ac yang ada di atas kursiku, namun terasa dingin sehingga membuat putingku mulai mengeras.
Ah, tidak. Nafsuku yang belum puas akhirnya mulai memuncak, hingga akhirnya bus benar-benar sudah berjalan.
Ku lihat sebelah kiri ku duduk seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya. Bahkan di barisan kursi paling belakang, semua diisi oleh laki-laki kecuali aku, aku adalah satu-satunya wanita di barisan kursi belakang.
Semoga mereka tidak menyadari penampilanku, ucapku dalam hati.
Aku mencoba untuk menyandarkan kepalaku di kaca bus dan memejamkan mata, berharap bisa sedikit meredakan nafsu birahiku.
Namun, setelah sekitar sepuluh menit perjalanan kurasakan tangan seseorang menyentuh pahaku.
Ah, kenapa jadi seperti ini, nafsuku mulai naik kembali. Ini salah, dari akal sehatku, aku merasa dilecehkan. Namun lagi-lagi tubuhku berkata lain, seakan tubuhku ingin tangan itu menjamah tubuhku lebih liar.
Semakin lama tangan itu semakin berani, kini tangan pria yang ada di sebelahku mulai meraba bagian pangkal pahaku, lalu mulai meraba bagian vaginaku dari luar gamisku.
"Ahh... Mhh..." Aku tidak sengaja mendesah perlahan.
"Enak ya mbak? Kok ada seorang akhwat berhijab malah keenakan dilecehkan. Gak pake daleman lagi, habis ngapain mbak? Habis jual diri di komplek atas itu ya?" Bisiknya tepat di telingaku.
Oh tidak, kenapa dia bisa tahu kalo aku baru saja dari komplek itu? Aku seketika menatap matanya tajam, aku berusaha mengusir tangannya yang masih sibuk meraba vaginaku.
"Tenang aja mbak, saya tadi lihat waktu mbak dibonceng sama si Anwar itu, jadi waktu mbaknya masuk kedalam bus, kebetulan saya ketemu sama dia, saya tanya sama dia ternyata benar mbaknya dari sana, saya bisa pastikan orang-orang didalam bus ini gak akan tahu tapi mbaknya harus nurutin perintah saya."
Jantungku berdebar kencang, karena ia mengancam akan bilang ke semua orang di dalam bus kalo aku adalah lonte akhwat yang bisa dipake gratisan. Akhirnya aku hanya mengangguk pelan.
Ku turuti perintahnya selama ia bisa menjaga rahasiaku, tangannya mulai menuntun tanganku kearah selangkangannya yang tertutup oleh tas dan hoodie.
Ternyata ia sudah mengeluarkan penisnya, ia menyuruhku untuk mengocok penisnya sedangkan ia terus membelai vaginaku dari luar gamisku, sesekali ia meremas payudaraku dan memilin putingku dari luar gamis.
"Mmhhh..." Desahku tertahan karena tak ingin semua orang mendengarku.
Aku merasa sedikit gelisah karena kulihat keluar kaca ternyata sebentar lagi bus akan berhenti di halte dekat kosanku, namun pria ini tak menunjukkan tanda-tanda akan ejakulasi.
Tanpa pikir panjang, aku membungkukkan tubuhku kearahnya, lalu dengan inisiatif aku menyuruhnya untuk menutupi tubuhku dan mulai ku kulum penisnya.
Aku berusaha menyedot penisnya sebisaku, tak lupa biji zakarnya juga ikut ku sedot hanya untuk membuatnya cepat ejakulasi.
Ia juga tak henti-hentinya meremas kedua payudaraku dengan gemas, aku hanya fokus menyepong penisnya, memberikan servis terbaikku.
Akhirnya kurasakan penisnya mulai berkedut, kupercepat kocokan mulutku di penisnya.
Hingga kusadari tubuhnya mulai mengejang, penisnya mulai menyemburkan spermanya kedalam mulutku.
"Jangan di telen mbak, tahan dulu di mulutmu, ahh..." Ucapnya saat sedang berejakulasi di mulutku.
Aku kembali menegakkan tubuhku, bersandar pada sandaran kursi bus dengan sperma yang masih memenuhi mulutku.
Dengan cepat ia singkapkan jilbab segi empatku dan ia menarik kerah gamisku yang agak longgar, hingga sedikit tarikan saja sebagian payudaraku sedah menyembul keluar.
"Muntahin di susunya mbak,"
Aku hanya mengangguk pelan, lalu aku menundukkan kepalaku dan ku keluarkan sperma di dalam mulutku di atas payudaraku seperti air liur.
Begitu banyaknya sperma yang ia semburkan kedalam mulutku, sehingga saat ku keluarkan di payudaraku ada sebagian yang langsung mengalir ke perutku melalui celah dari kedua payudaraku.
Seakan seperti seorang lonte yang sudah terlatih, aku meratakan spermanya ke seluruh payudaraku seperti sedang memakai lulur. Aku menoleh ke arah pria itu dan tersenyum nakal kearahnya, sehingga membuatnya tertegun.
"Gini kan bang?" Tanyaku dengan memberikan tatapan nakal kepadanya.
Tak lama kemudian aku dikejutkan dengan suara kernet yang memberi pengumuman bahwa bus akan segera berhenti tepat di depan halte depan kos ku. Dengan cepat kurapikan kembali jilbab dan gamisku yang berantakan.
Saat kulihat kedepan, seorang kernet berjalan ke arah belakang menagih ongkos bus pada penumpang yang hendak turun di halte ini.
Sebelum aku berdiri, aku berbisik pada pria disebelahku yang masih menatapku nanar, lalu aku berbisik padanya.
"Lain kali mampir di kosanku ya bang, di gang yang belakang tadi. Atau tanya aja kos-kosan Pak Joko. Banyak yang tahu kok bang, nanti cari aja namaku Widya, Widya Amanda," godaku senakal mungkin.
Namun, seketika akal sehatku mulai sadari. Bodoh, apa yang baru saja kulakukan.
Tak sempat berpikir banyak, aku segera berdiri karena kernet bus sudah berada sekitar dua kursi di belakangku.
Saat kuberikan ongkos pada kernet itu, ia tersenyum genit kearahku seakan tahu apa yang baru saja ku lakukan, atau entah dia melihat tonjolan putingku dari gamis tipis yang tertutup jilbabku.
Saat aku akan keluar bus lewat pintu belakang, aku baru menyadari satu hal. Seorang pemuda berpenampilan seperti preman duduk di kursi pojok kiri belakang.
Wajahnya tak asing bagiku, dan disaat bersamaan aku mengingat pemuda itu. Pemuda yang semalam mengawasiku saat menyusuri komplek ketika mencari rumah yang disewa Pak Burhan semalam.
Kulihat dia tersenyum penuh arti padaku, seketika membuatku sedikit panik. Namun aku berusaha secepat mungkin keluar bus sebelum ia mengejarku dan berhasil menangkapku.
Aku berjalan dengan tergesa-gesa menuju tempat kos ku, perasaanku rasanya sangat kacau. Kurasakan juga payudaraku berguncang dan membuat putingku kembali tegang karena sensasi gesekan di gamisku.
Namun, aku berusaha mengabaikannya meski khawatir jika ada orang yang melihat penampilanku dan menyadari tonjolan dibalik gamisku.
Namun keberuntungan masih berpihak padaku, karena sepanjang gang menuju kos, tak kutemui seorang pun karena jam segini semua orang sedang bekerja atau beraktifitas lain.
Akhirnya aku bisa sampai juga di kosanku dan bergegas menuju kamarku yang terletak paling belakang.
ns 18.68.41.174da2