Aku duduk termenung di sudut bangku taman belakang sekolah swasta elit dan terkenal bernama SMA Cakrawala, di bawah naungan pohon jambu yang rindang.
Meski sekolah ini tampak megah dengan bangunan bertingkat yang menjulang, halaman yang luas, dan siswa-siswi yang berlalu-lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Namun, di tengah keramaian itu, hatiku diliputi kegelisahan yang tak kunjung reda.
Kemudian aku menatap langit biru yang cerah, mencoba mencari ketenangan dalam keindahan awan yang terlukis di langit cerah pagi ini.
Namun pikiranku terus berputar pada satu hal yang menghantuiku, yaitu tunggakan uang sekolah yang sudah dua bulan belum terbayar.
Setiap detik, kekhawatiran itu semakin membebani pikiranku, membuatku sulit untuk fokus pada pelajaran atau bahkan hanya untuk bercengkerama dengan teman-temanku seperti biasa.
Aku menghela napas panjang, merasakan kehangatan sinar matahari yang bersinar sangat cerah pagi ini.
"Bagaimana aku bisa memberitahu Abi dan Umi?" gumamku pelan, mataku mulai berkaca-kaca.
Meski sebelumnya di keluargaku selalu tercukupi, tapi beberapa bulan terakhir ini Umi mengabarkan bahwa usaha Abi di kampung sedang kesulitan.
Itulah mengapa aku harus menunggak biaya sekolah sampai dua bulan bahkan sudah dua kali aku mendapat surat peringatan dari sekolah.
Selain itu uang saku bulanan yang dikirim oleh kedua orang tuaku hanya cukup untuk membayar sewa kamar kos dan keperluanku sehari-hari.
Ya, aku memang berasal dari desa, dari kampung yang lumayan jauh dari sekolah tempatku menuntut ilmu, itulah aku harus tinggal di sebuah kos khusus akhwat yang sebenarnya lumayan jauh dari sekolah.
Alasannya sederhana, karena keluargaku sendiri sangat menjunjung tinggi agama, bahkan Abi sendiri tak jarang mengisi kajian dan menjadi imam di mushola kampung halamanku.
Meski jarak antara sekolah dan tempat kos cukup jauh, tapi hanya tempat kos itulah yang hanya memperbolehkan wanita menjadi penghuninya.
Di sana laki-laki dilarang masuk, kalaupun ada yang mengajak, laki-laki itupun harus menunggu di luar.
Oiya, namaku Widya Amanda, sapaan akrabku adalah Widya, sejak kecil aku sudah diajari untuk selalu memakai hijab.
Bahkan semua pakaian yang aku punya hanya gamis lebar dan hijab panjang, meski ada beberapa gamis yang bahannya cukup tipis dan ketat, tapi aku jarang memakainya.
Saat ini aku baru saja menginjak usia 18 tahun dan masih duduk di kelas 3 SMA semester pertama, dan kurang lebih dua bulan lagi aku akan mengikuti ujian akhir semester pertama.
Aku memiliki kulit yang putih bersih dan wajah yang manis dengan tinggi badan 165 cm dan payudara yang tergolong besar untuk gadis seusiaku.
Selain itu karena tubuhku yang langsing, aku sedikit kesulitan untuk menutupi bagian dadaku, karena memang aku memiliki payudara berukuran 36C.
Yang membuatku kesulitan itu karena payudaraku lebih menonjol, apalagi saat di kelasku ada jam olahraga, banyak mata yang memandangku atau bahkan memandang payudaraku.
Karena seragam olahraga sekolahku cukup ketat, meski bahannya lumatan tebal, tapi bagi murid yang berhijab diwajibkan memakai hijab sport yang lumayan pendek, sehingga membuatku sedikit risih.
Aku juga memiliki seorang kakak perempuan namanya Mbak Zahra, dulu ia juga sekolah di SMA Cakrawala, namun bedanya waktu itu Mbak Zahra tidak mengalami masalah keuangan sama sekali.
Beberapa bulan lalu ini Mbak Zahra baru saja lulus kuliah jurusan ilmu ekonomi, saat ini ia sedang membantu usaha orang tuaku di desa.
Tak terasa lonceng tanda masuk berbunyi, membuyarkan lamunanku. Dengan langkah berat, aku berdiri dan berjalan menuju kelas, berharap suatu keajaiban akan datang untuk membantuku keluar dari kesulitan ini.
Meskipun hatiku gundah, aku tetap berusaha tersenyum, menyembunyikan kegelisahan di balik wajahku yang kata teman-temanku sangat cantik saat aku memakai hijab ku yang selalu rapi.
Saat aku memasuki ruang kelas dengan langkah perlahan, suasana kelas masih cukup ramai dengan obrolan teman-temanku yang belum juga berhenti meskipun lonceng sudah berbunyi.
Aku melihat ke arah bangku di sebelah kiri dimana sahabatku Maya duduk disama. Maya adalah gadis modis yang selalu tampil trendi dengan pakaian yang up-to-date dan gaya rambut yang selalu rapi.
"Widya! Di sini, duduklah!" seru Maya dengan senyum cerah saat melihatku masuk ke kelas. Aku membalas senyumannya, meski dengan sedikit paksaan, dan berjalan ke arahnya.
Memang Maya adalah satu-satunya sahabatku yang paling dekat sekaligus temanku sebangku.
Setelah duduk, aku meletakkan tasku di meja dan mengeluarkan buku-buku pelajaran.
"Kamu kenapa, Wid? Ada masalah?" tanyanya dengan nada khawatir, sepertinya Maya menyadari ada yang berbeda dari ekspresiku hari ini.
"Ah, tidak apa-apa, May. Hanya sedikit pusing saja," jawabku mencoba menghindar dari pertanyaan itu.
"Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ceritakan saja, siapa tahu aku bisa bantu," desak Maya lembut. Sepertinya dia tidak akan percaya begitu saja saat menyadari raut wajahku.
Aku terdiam sejenak, menatap buku di depanku tanpa benar-benar melihatnya. Setelah menghela napas panjang, aku akhirnya berbicara jujur padanya.
"Aku... aku punya masalah dengan uang sekolah. Sudah dua bulan belum terbayar, dan aku takut Abi dan Umi akan semakin terbebani kalau mereka tahu." ucapku lemas.
Maya terkejut mendengar pengakuanku. "Kenapa kamu tidak bilang dari dulu, Wid? Mungkin aku bisa bantu cari solusi. Jangan dipendam sendiri, ya."
Aku tersenyum tipis mendengar perhatian sahabatku itu, memang seperti itulah Maya. Dia akan selalu membantuku setiap kali aku ada masalah, itulah kenapa aku begitu dekat dengannya.
"Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa, May. Lagipula, aku juga belum tahu harus bagaimana."
Maya tampak berpikir sejenak, lalu wajahnya cerah dengan sebuah ide. "Bagaimana kalau kita cari cara bersama? Mungkin kita bisa tanya ke guru BP atau coba ajukan beasiswa. Atau, kalau kamu mau, aku bisa pinjamkan dulu uangnya."
Aku menggeleng pelan. "Terima kasih, May. Aku tidak bisa meminjam uang darimu. Tapi, ide tentang beasiswa itu mungkin bisa dicoba. Aku akan tanya ke guru BP nanti."
Maya meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Kita akan cari solusi bersama. Kamu tidak sendiri, Wid."
Seketika aku merasa sedikit lega dengan ucapan Maya barusan, dalam situasi seperti ini aku memang sangat membutuhkan seseorang yang mendukungku.
Meskipun masalahku sendiri belum selesai, dukungan dari sahabatku Maya memberikan harapan baru. Aku pun tersenyum tulus, untuk pertama kalinya hari itu, dan memulai pelajaran dengan sedikit lebih ringan di hati.
Tak lama kemudian pelajaran matematika baru saja dimulai ketika Pak Wahyu masuk ke dalam kelas.
Pak Wahyu, guru yang dikenal tegas dan banyak siswa yang mengatakan kalau guru itu adalah guru killer, berdiri di depan kelas dengan ekspresi serius.
Semua murid yang awalnya masih berbicara pelan-pelan terdiam, memperhatikan beliau.
Aku sendiri heran kenapa bahkan hampir semua siswa menyebutnya guru killer, padahal beliau selalu baik padaku.
Setelah beberapa saat kemudian seorang staf sekolah yaitu Bu Arini yang merupakan bendahara sekolah masuk kedalam kelas, saat itulah aku mulai merasa gugup.
Bukan karena Bu Arini terkenal galak dan tegas, melainkan jika beliau menghampiri salah satu kelas, yang pasti adalah salah satu murid di kelas itu punya masalah yang berhubungan dengan uang sekolah, yah seperti aku ini.
"Widya Amanda, bisakah kamu keluar sebentar? Kepala sekolah ingin berbicara denganmu." ucap Bu Arini lantang di depan kelas.
Aku yang sedang mencatat materi pelajaran, merasa jantungku berdebar kencang, semua mata tertuju padaku. Meski sangat jelas Bu Arini menyunggingkan senyum padaku, tapi aku tahu masalah apa yang akan ku hadapi saat bertemu kepala sekolah.
Perlahan aku berdiri, dengan wajah yang pucat, dan berjalan menuju pintu. Sementara Maya yang duduk di sebelahku menatap ke arahku dengan penuh kekhawatiran, memberikan isyarat dukungan dengan menganggukkan kepala.
Setelah keluar kelas, aku berjalan mengikuti Bu Arini, aku tak bisa membayangkan jika nanti aku harus di skors dari sekolah atau bahkan terpaksa di keluarkan dari sekolah karena biaya sekolahku yang sudah menunggak.
"Kamu jangan khawatir, Widya. Ibu yakin murid cerdas dan berprestasi sepertimu pasti akan mendapat keringanan nantinya." Ucap Bu Arini dengan senyumnya yang lebar seakan menyemangati ku.
"Terima kasih, Bu." Ucapku pelan sambil menundukkan kepala.
Sesampainya di kantor kepala sekolah, Aku mengetuk pintu dengan pelan. "Masuk," suara berat dari dalam mempersilahkan ku untuk masuk. Aku membuka pintu dan melangkah masuk dengan hati-hati.
Aku membuka pintu ruang kepala sekolah dengan perasaan cemas yang tak bisa ku sembunyikan. Di dalam, Pak Burhan, kepala sekolah yang juga pemilik SMA Cakrawala, duduk di balik mejanya dengan senyum yang tampak hangat di permukaan.
"Selamat pagi, Widya. Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depannya.
ns 15.158.61.20da2