Aku duduk dengan hati-hati, merasakan tatapan intens Pak Burhan. "Selamat pagi, Pak," sapaku dengan suara pelan.
Pak Burhan mengangguk, masih dengan senyum yang sama. "Widya, saya ingin berbicara denganmu tentang pembayaran SPP yang sudah tertunggak selama dua bulan. Apa ada masalah di rumah?"
Aku merasa jantungnya berdebar kencang. "Maafkan saya, Pak. Orang tua saya sedang mengalami kesulitan keuangan. Mereka sedang berusaha keras untuk mencari uang, tapi sampai sekarang belum cukup untuk membayar SPP." ucapku dengan nada lirih dan hanya menundukkan kepalaku.
Meski begitu aku juga masih bisa sedikit melihat bahwa Pak Burhan masih tetap tersenyum padaku, senyum yang masih sama saat aku pertama masuk.
Apa yang dikatakan Bu Arini benar? Apakah aku akan mendapatkan keringanan karena prestasiku? Ya Tuhan semoga saja apa yang diucapkan Bu Arini benar, ucapku dalam hati seraya memohon.
"Saya mengerti, Widya. Situasi seperti ini memang tidak mudah. Tapi, kamu tahu, ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah seperti ini." Ucap Pak Burhan menatapku dengan pandangan yang seolah penuh perhatian. Sehingga aku pun sedikit mendongakkan kepalaku seakan akan ada keajaiban yang berpihak padaku.
Aku merasa sedikit lega mendengar nada suara yang tampak peduli dari Pak Burhan. "Apa yang bisa saya lakukan, Pak?"
Pak Burhan tersenyum lebih lebar. "Kamu adalah siswa yang cerdas dan berprestasi. Akan sangat disayangkan jika kamu harus meninggalkan sekolah hanya karena masalah keuangan. Mungkin kita bisa menemukan solusi bersama."
Seketika aku merasa senang dengan apa yang dikatakan Pak Burhan, sepertinya memang yang dikatakan Bu Arini benar, Alhamdulillah, ucapku dalam hati bersyukur. "Lalu, apa yang harus saya lakukan Pak? Maaf, maksud saya, apakah saya bisa mengajukan beasiswa kepada sekolah?"
Aku sedikit gugup, betapa bodohnya aku karena saking senangnya sehingga aku hampir bertanya dengan pertanyaan yang terkesan tidak sopan itu.
Meski begitu Pak Burhan kembali tersenyum padaku, lalu beliau berkata, "Bagaimana kalau kamu datang ke rumah saya nanti malam? Kita bisa bicarakan masalah ini nanti, karena sekarang saya masih ada banyak urusan."
Aku langsung merasa senang dengan tawaran itu, sepertinya aku akan benar-benar mendapatkan beasiswa dan sepertinya akan mendapat uang saku tambahan dari program beasiswa itu.
"Terima kasih, Pak. Saya sangat menghargai bantuan Bapak. Tapi, saya tidak tahu alamat rumah Bapak."
Kemudian Pak Burhan memberi isyarat padaku untuk menunggu, ku lihat ia berdiri lalu melakukan panggilan pada seseorang menggunakan ponselnya.
Pak Burhan kemudian mengambil selembar kertas dan menulis alamat di atasnya. "Ini alamatnya. Datanglah sekitar pukul tujuh malam. Saya akan menunggumu di sana."
Aku mengangguk saat menerima selembar kertas yang disodorkan oleh Pak Burhan. Saat ini aku merasa beban di pundakku sedikit terangkat. "Baik, Pak. Terima kasih banyak."
Singkat cerita setelah berpamitan, Aku kembali ke kelas dengan hati yang lebih ringan. Aku menceritakan kepada Maya bahwa Pak Burhan akan membantuku mencari solusi untuk masalah SPP.
"Pak Burhan sangat baik, May. Sepertinya dia akan menawariku program beasiswa untukku," Ucapku pada Maya dengan raut wajah senang dan lega.
Maya yang mendengar kabar baik dariku ikut merasa senang, lalu dia menggenggam kedua tanganku lalu berkata, "Tuh kan Wid, apa ku bilang. Pasti ada solusi untuk masalahmu itu," ucap Maya dengan nada bicara tak kalah senangnya.
"Terima kasih, May. Aku yakin ini pasti berhasil." ucapku sambil memeluk satu-satunya sahabat terbaikku itu.
"Eh, Wid. Udah jam istirahat nih, ke kantin yuk. Biar aku yang traktir" ucap Maya tiba-tiba.
"Tapi May, emang gapapa kamu yang traktir?"
"Udahlah, kayak sama siapa aja, udah yuk keburu rame nanti di kantin."
"Makasih ya May..." ucapku semakin terharu karena selama ini Maya selalu baik kepadaku.
Sesampainya kami di kantin, kami berdua pun memesan bakso dan duduk di kursi panjang yang berjarak sekitar tiga meja di depan warung bakso itu.
"Assalamu'alaikum, aku boleh gabung gak?"
"Wa'alaikumsalam," ucapku membalas salam dari seorang siswa yang baru saja datang, dari suaranya sepertinya aku sangat mengenalinya.
"Boleh kok, ehhh...." Tiba-tiba saja Maya nyerocos begitu saja, tapi akhirnya dia berhenti saat tiba-tiba saja aku menatap matanya tajam.
"Hehe... Maaf ya Wid, tapi boleh kan Fajar ikut gabung sama kita? Kasian kan dia sendirian gak ada temen, ya sekali-sekali gapapa kan? Lagian kamu nolak dia terus-"
"Maya!!! Udah berapa kali aku bilang pacaran itu gak boleh, dosa-"
"Iya, iya aku ngerti Bu Ustazah Widya Amanda yang paling bijaksana, lain kali aja kalo mau ceramah ya..." Ucap Maya memotong apa yang ingin kukatakan.
Aku hanya menghela nafas panjang, memang seperti itulah Maya, tapi bagaimanapun dia adalah sahabatku. Aku pun mengangguk dan memperbolehkannya bergabung dengan kami.
Tapi sebelum itu aku berpindah posisi duduk di sebelah Maya dan ku suruh Fajar duduk di depan Maya. Awalnya Maya menolak tapi karena mengerti akhirnya dia tak bisa menolak.
Sebenarnya Fajar sudah berkali-kali menembak ku dan mengajakku berpacaran, bahkan banyak siswa laki-laki yang berusaha mendekatiku. Tapi karena aku tidak pernah mau pacaran karena pacaran itu dosa dan mendekati zina, aku menolak mereka semua.
Banyak siswa laki-laki yang patah hati hanya karena ku tolak mereka, namun hanya Fajar yang selalu gigih dan gak mau berhenti mendekatiku. Meski aku selalu bersikap jutek padanya.
Tapi memang sebenarnya aku merasa sedikit kasihan dengan Fajar, dia adalah salah satu siswa yang sering di buli di sekolahku.
Mungkin karena dia jarang suka bergaul dan penampilannya yang terkesan seperti anak culun dengan kacamata tebal selalu di kepalanya.
Tapi meski begitu aku salut sama Fajar, meski dia sering di buli, dia tetap sabar dan tabah. Selain itu, Fajar juga tergolong murid yang cerdas dan berprestasi, namun dia lebih beruntung dariku, karena orang tuanya adalah salah satu pengusaha besar di kota ini.
Selama Fajar ikut gabung dengan kami, tak jarang dia berusaha mengajakku ngobrol, tapi aku hanya meresponnya seadanya.
Bahkan Maya sepertinya ikut jengkel sendiri melihat sifatku pada Fajar, tapi sepertinya dia sudah terbiasa dengan sifatku yang selalu acuh terhadap laki-laki manapun.
Tak terasa bel masuk pun berbunyi, dan kami bertiga masuk ke kelas masing masing, aku bersama Maya sedangkan Fajar berjalan sendiri menuju kelasnya.
"Wid, emang kamu gak pengen ya punya pasangan kayak anak-anak yang lain?"
"Maya, sudah berapa kali aku bilang, aku-"
"Udah, udah stop... Iya iya Bu Ustazah Widya, aku sudah tahu jawabannya." ucap Maya memotong apa yang ingin ku katakan.
Tak terasa jam sekolah sudah selesai, aku membuka ponselku ternyata memang sudah jam 2 siang.
Aku berjalan keluar sekolah menuju gerbang bersama Maya, kemudian kami pun berpisah. Maya menuju parkiran untuk mengambil motor matic nya sedangkan aku berjalan menuju halte menunggu angkot ataupun bus yang lewat.
Sebenarnya Maya sering menawarkan diri untuk mengantarku pulang ke kos atau menjemput ku saat berangkat sekolah. Tapi meski kami searah tapi jika dibandingkan dengan Maya, jarak dari sekolah ke tempat kos ku lebih jauh dari jarak sekolah ke rumah Maya. Aku sama sekali tidak mau merepotkan sahabatku itu.
Tak butuh waktu lama akhirnya ada juga angkot yang lewat, jam segini memang masih banyak angkot yang lalu lalang. Tapi kalau di sekolah ada kegiatan ekstra kulikuler yang mengharuskan aku keluar sekolah jam 4 sore, hanya ada bus yang lewat pada jam segitu.
Akhirnya setelah menempuh jarak sekitar lima kilometer, aku sampai juga di tempat dimana aku tinggal, aku masuk kedalam gerbang yang cukup untuk berpapasan dua buah motor.
Sebuah kos yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil itu memiliki dua lantai dengan total dua puluh kamar. Masing masing sepuluh kamar di lantai satu dan sepuluh kamar di lantai dua, dan masing-masing lima kamar saling berhadapan.
Di tengah-tengahnya terdapat taman dengan atap terbuka dan jalan menuju tempat paling ujung yang menyediakan parkiran motor, dan juga dapur. Tepat di atas dapur dan parkiran motor itu terdapat sebuah aula yang bisa dipakai oleh siapapun.
Untuk rumah pemilik kos sendiri tempatnya berhadapan langsung dengan gerbang kos, jadi si pemilik kos bisa memantau secara langsung keadaan di dalam kos.
Tempat kos ini masuk gang dan berjarak sekitar lima puluh meter dari jalan raya, untuk jalan gang inipun juga tidak terlalu besar, hanya muat untuk satu buah mobil saja, karena termasuk jalan kampung.
Meski kos ini adalah kos khusus akhwat, si pemilik kos tidak melarang penghuninya kalau memang harus pulang sampai larut malam. Karena memang penghuni kos di sini tidak semuanya adalah pelajar sepertiku atau mahasiswa yang punya kelas malam. Tapi juga beberapa akhwat yang sudah bekerja dimana terkadang harus kerja shift sore atau bahkan malam hari.
Setelah aku masuk ke dalam kamarku yang terletak di kamar nomor lima, kamar paling ujung sebelah kiri bersebelahan dengan dapur. Setelah masuk, aku langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diriku lalu tak lupa aku menunaikan kewajibanku shalat lima waktu.
Ya, di sini memang menyediakan fasilitas kamar mandi dalam, sehingga tidak perlu repot-repot mengantri jika harus mandi atau sekedar buang hajat.
Setelahnya aku langsung istirahat, karena mengingat nanti malam aku harus datang ke rumah Pak Burhan untuk membicarakan masalah uang sekolahku yang sudah menunggak.
ns 15.158.61.48da2