Cukup lama aku terdiam didalam pos masih dengan posisi yang sama, berdiri sambil bersandar di tembok pos yang kotor dan penuh coretan.
Kenapa aku sama sekali tak menyadarinya, ternyata pria yang barusan menyetubuhiku terlihat tampan meski sudah berusia sekitar tiga puluh tahunan.
Saat di dalam bus kemarin, aku tak sempat melihat wajahnya dengan serius, karena aku sudah terhipnotis oleh hawa nafsuku sendiri.
Aku masih membayangkan saat bagaimana aku dan Bang Zaki pertama bertemu di dalam bus, hingga sampai ia menagih ucapanku saat di bus kemarin. Sampai aku tersadar dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Ah, sadar Widya, sadar. Kamu udah punya pacar, dia laki-laki yang baik apalagi penisnya besar dan panjang, dia pasti akan lebih bisa memuaskanmu.
Aku kembali teringan dengan Fajar, aku tak tahu betapa kecewa dan marahnya dia kalau sampai dia mengetahui seperti apa aku sebenarnya.
Lalu aku mengambil tasku yang tergeletak di lantai dan mengambil ponselku dari dalam tas. Saat kubuka ternyata ada beberapa pesan masuk dari Fajar.
Aku kembali terisak saat aku membaca beberapa pesan darinya yang masuk, pesan itu menunjukkan betapa perhatiannya dia padaku.
Apa aku harus jujur padanya tentang semuanya? Ya, aku harus jujur padanya, tapi jangan sekarang. Aku harus menunggu waktu yang tepat.
Aku membalas pesannya dengan alasan kalau aku masih mampir di kamar tetangga kosku dan baru bisa membalas pesan darinya.
Beruntungnya dia percaya begitu saja, setelah aku berpamitan kalau aku mau mandi, aku bergegas kembali berdiri dan pulang menuju kosanku.
Saat aku baru saja keluar dari pos, ternyata sudah mau maghrib, kulihat matahari senja di ujung barat yang begitu indah dan menenangkan jiwa.
Setelah beberapa saat aku menikmati matahari senja di pinggir jalan raya, akupun mulai berjalan masuk kedalam gang yang menuju kosanku.
Saat aku berjalan menyusuri gang yang ada beberapa anak kecil sedang bermain membuatku tersenyum masam, kembali mengingatkanku saat di kampung dan seusia mereka.
Beberapa anak kecil juga ada yang menyapaku karena memang mereka mengenaliku, ada juga yang malu-malu denganku.
Namun, saat aku tengah berjalan dan hampir sampai ke kosanku, aku mendengar suara seseorang menghentikan langkahku.
"Ehh.. Neng Widya! Kok tumben baru pulang? Ada kerja kelompok lagi apa lagii..." Sapa Mang Tejo sengaja menggantung ucapannya.
Saat itu aku memang sedang berpapasan dengan Mang Tejo yang saat itu sedang memperbaiki kran air di depan rumahnya.
"Dari kegiatan ekstrakulikuler, Mang. Terus tadi habis main sama temen," aku membalas ucapannya.
Saat ini aku merasa malu dengan Mang Tejo karena semalam aku sempat menggodanya dan bahkan aku menunjukkan kebinalanku dihadapannya langsung.
Mang Tejo sudah beristri dan memiliki seorang anak yang masih berusia sekitar lima tahunan.
Setelah itu ia mulai tersenyum genit kearahku dan berjalan mendekatiku, aku menoleh ke kanan dan kiri yang saat itu hanya ada anak-anak kecil, itupun mereka sudah berhamburan pulang ke rumah masing-masing karena sebentar lagi akan adzan maghrib.
"Besok malam minggu tuh, Neng. Masih ingat kan yang kemarin," ucap Mang Tejo sambil mengedipkan salah satu matanya.
"Ma-masih kok Mang," ucapku yang saat itu beringsut mundur karena ia semakin mendekatiku.
Lalu ia mulai berani menyenggol payudaraku dengan jari tangannya. Meski aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang sudah menjamah bagian-bagian sensitif di tubuhku, aku agak terkejut karena ia berani melakukannya di tempat umum.
"Be-besok aja ya, Mang. Ta-tapi jangan di kosan, saya takut kalo sampe ketahuan Bapak Kos."
Beruntungnya saat itu istri Mang Tejo sudah memanggilnya yang saat itu kulihat sudah berdiri di depan pintu mengajaknya shalat maghrib berjamaah.
"Besok malam saya tunggu kamu di pos ujung sana, saya biasanya mangkal disana," ucapnya yang saat itu langsung berjalan masuk kedalam rumah.
Setelah itu aku berjalan menuju kosanku, kurasakan tubuhku yang sangat lelah ingin sekali rasanya segera merebahkan tubuhku di kasur empuk kamar kosanku.
Apa aku sudah menjadi pelakor? Menggoda suami orang lain lalu berniat berhubungan badan dengannya. Ah, sebaiknya aku segera masuk lalu mandi untuk menyegarkan tubuhku.
Seperti biasanya, saat jum'at sore keadaan kosanku mulai sepi karena sebagian penghuni kos akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Sedangkan sebagian lagi memilih pulang besok pagi atau besok sorenya.
Mbak Hana yang kamarnya bersebelahan dengan kamarkupun sepertinya sudah pulang, karena aku tak melihat alas kakinya yang biasanya selalu berada di depan pintu.
Saat aku mendengar gemuruh adzan maghrib mulai bersautan, aku masuk ke kamarku dan masuk ke kamar mandi, setelah sebelumnya aku menaruh tasku di meja belajarku.
Tak lupa juga aku mencuci seragam sekolahku yang kupakai tadi siang, masih tercium samar-samar aroma sperma yang masih melekat di seragamku apalagi rok hitamku.
Setelah mandi dan mencuci semua pakaianku yang kotor, aku bergegas keluar dari kamar mandi. Tubuhku terasa sedikit kedinginan karena cucian kotorku yang lumayan banyak itu.
Setelah aku menjemur semua cucianku di teras belakang, aku lalu mengambil daster panjang dan jilbab instan berwarna biru.
Aku sempat berpikir apa aku malam ini memakai pakaian dalam atau tidak, lalu akhirnya akupun hanya memakai daster panjang itu dan jilbab instan tanpa pakaian dalam sama sekali.
Kulihat jam dinding ternyata sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Aku sudah melewatkan waktu shalat maghrib, bahkan hari ini aku juga melewatkan shalat dzuhur dan ashar.
Karena sebentar lagi sudah masuk waktu isya' aku bergegas mengambil mukena lalu melakukan rutinitasku yang kemarin sempat kutinggal, yaitu mengaji sambil menunggu waktu isya'.
Sekitar pukul setengah delapan malam aku selesai shalat isya' dan mengaji, setelah melepas mukena yang kupakai aku merebahkan tubuhku di kasur empuk dan membuka ponselku.
Kulihat beberapa pesan masuk dari orang-orang terdekatku. Setelah aku membalas pesan dari Fajar, aku membalas pesan dari Maya, setelah itu kubuka pesan dari Umi dan Mbak Zahra yang saat ini berada di kampung.
Seperti biasa setiap hari jum'at malam, mereka mengirimku pesan hanya sekedar untuk menanyakan kabarku.
Aku jadi mulai merindukan mereka, tapi masih lama menunggu jadwal kepulanganku ke kampung. Aku sangat jarang pulang karena mengingat perjalanan yang jauh dan ongkos yang lumayan.
Biasanya kalo aku libur akhir semester atau ketika libur lebih dari dua hari aku baru pulang.
Semakin aku merindukan keluargaku, aku jadi mengingat kejadian itu. Dimana saat aku kehilangan keperawananku, aku mulai meneteskan air mataku karena merasa bersalah dengan Abi dan Umi yang sudah susah payah membesarkan dan merawatku.
Aku merasa sudah menjadi anak durhaka, menjadi aib bagi keluarga karena sudah memberikan kehormatanku pada orang lain, tapi aku malah menikmatinya.
Saat aku semakin larut dalam kesedihanku, akhirnya aku tertidur karena sudah sangat lelah.
Keesokan harinya aku terbangun sekitar pukul enam pagi. Sebenarnya saat alarmku berbunyi sekitar pukul empat subuh tadi, aku terbangun namun aku mematikan alarmku dan menarik selimut untuk menghangatkan tubuhku lalu tidur lagi.
Aku sudah melewatkan shalat subuh hari ini, kubuka lagi ponselku dan pesan dari Umi, Mbak Zahra, Maya dan Fajar yang semalam belum kubuka karena tertidur.
Setelah aku membalas pesan mereka satu-persatu, aku bergegas ke kamar mandi untuk sekedar gosok gigi dan membasuh wajahku.
Setelahnya, aku tersenyum saat melihat bayangan tubuhku sendiri di cermin lemariku. Aku terlihat begitu menggoda dengan tonjolan putingku yang mengeras dari balik daster panjang tipis yang kupakai.
Jilbab instan yang kupakai sama sekali tidak bisa menutupi tonjolan putingku dari balik daster karena jilbabku sangat pendek hanya menutupi bagian atas dadaku.
Aku sedikit menarik bagian belakang dasterku, sehingga semakin terlihat jelas tonjolan putingku dan lekuk tubuhku.
Kurasakan vaginaku sedikit basah, lalu kubuka kancing dasterku yang hanya ada tiga kancing di bagian depan dasterku itu.
Kutarik dasterku kebawah sehingga membuat payudaraku yang besar menyembul keluar.
"Ahh..."
Aku memilin kedua putingku sehingga membuatku mendesah, kulihat dildo yang tergeletak begitu saja di meja belajarku.
Kuambil benda haram itu lalu aku menjilati dan mengulum benda itu layaknya aku mengulum penis laki-laki, sedangkan tanganku yang satunya meremas payudaraku secara bergantian.
Aku membalikkan tubuhku membelakangi cermin, aku menaikkan rok dasterku dan menunggingkan tubuhku dengan tangan kiriku bertumpu pada kasur.
Saat aku menoleh kebelakang, kulihat bayangan diriku sendiri di cermin yang terlihat nakal dan binal.
Plak... "Aww..." Aku menampar pantatku sendiri dengan tangan kananku.
Aku mengambil dildo yang tadi ku taruh di kasurku, lalu aku menggesekkan benda itu di vaginaku.
"Shh... Ahh... Enakkhh..."
Lalu aku memasukkan benda haram itu kedalam vaginaku yang sudah sangat basah. Aku mendesah pelan saat benda itu masuk sepenuhnya kedalam vaginaku.
Lalu aku mulai memaju mundurkan benda itu didalam vaginaku, kurasakan semakin nikmat seperti kontol laki-laki yang menyetubuhiku.
Sesaat kemudian aku seakan ingin pipis, masih pagi tapi aku sudah sangat terangsang.
Ting... Ting... Ting...
Namun, saat aku akan mengalami orgasme, aku mendengar suara penjual bubur ayam favoritku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung melemparkan dildo itu begitu saja. Aku segera keluar kamarku berniat membeli bubur ayam favoritku itu.
Tapi aku teringat sesuatu, payudaraku yang masih menyembul, lalu aku merapikan lagi dasterku tapi putingku terlihat sangat menonjol.
Apa aku pakai daleman dulu? Ah, keburu penjual bubur ayamnya pergi. Aku berlari menuju lemariku mencari apapun untuk menutupi payudaraku.
Lalu aku mengambil jilbab segi empat berwarna putih dan tanpa pikir panjang aku langsung mengganti jilbabku.
Jilbab segi empat yang kedua ujungnya kubiarkan menjuntai kebawah menutupi payudaraku, aku rasa sudah cukup meski masih terlihat samar-masar tonjolan kedua putingku.
Aku segera mengambil uang di tas selempangku dan bergegas keluar. Seperti dugaanku, penjual bubur ayam itu sudah tak terlihat lagi di depan gerbang kosanku.
Setelah membuka pintu gerbang kosanku dan kulihat penjual bubur ayam itu sudah berjalan agak jauh, aku segera berlari mengejarnya.
"Baang... Beli bubur..."
Aku berteriak sambil berlari kecil mengejarnya, dan beruntungnya penjual bubur itu mendengar teriakanku lalu menghentikan langkahnya.
7788Please respect copyright.PENANA8x6dCRhdv5