Sudah dua hari berlalu, dan saat ini adalah hari Jum'at. Aku tengah berdiri di depan gerbang sekolah menunggu Fajar mengambil motornya di parkiran sekolah, dia memang sengaja ingin mengantarku pulang ke kosanku.
Hari ini aku berniat mengatakan yang sejujurnya pada Fajar, namun aku tidak berkata jujur sepenuhnya. Mungkin aku hanya akan mengatakan jika aku sudah tidak perawan lagi.
Selama dua hari kemarin dan terakhir siang tadi, aku dihajar habis-habisan saat pagi hari oleh Pak Burhan lalu siangnya aku juga dihajar oleh Pak Sumanto dengan siksaan syahwat.
Ditambah lagi sejak tiga hari lalu, setiap pagi aku harus memberikan jatah kepuasan birahi kepada Pak Burhan, Pak Wahyu dan Pak Arif. Tidak hanya itu, setiap jam pelajaran terakhir aku juga harus melayani tiga orang secara bersamaan, yaitu Pak Sumanto, Bryan dan Daniel.
Rasanya begitu lelah, namun aku terus berusaha sebaik mungkin untuk terus menjaga kesehatan tubuhku, meski sebenarnya aku begitu menikmatinya.
Ditambah lagi kelompok geng motor Joker Army yang tiga hari lalu menjadikanku sebagai piala bergilir bagi mereka, malam nanti akan ada balapan dengan geng motor lain.
Entah dimana mereka akan balapan dan bagaimana aku nanti jadinya, yang pasti aku nanti malam akan dijadikan bahan taruhan oleh mereka.
Dimana jika geng motor Joker Army kalah, maka aku harus mau dipakai oleh geng motor yang mengalahkan gengnya David. Sebaliknya jika kelompoknya David menang, mereka akan mendapat imbalan taruhan berupa uang dari geng motor yang mereka kalahkan.
Namun, aku sama sekali tidak tahu nama atau kelompok mana yang akan balapan dengan geng Joker Army. Tapi yang jelas, kalah atau menang, aku nanti harus mau menjadi alat pemuas nafsu mereka.
Ah, kenapa memikirkannya saja sudah membuatku sangat basah, ucapku dalam hati. Karena saat ini saja kurasakan vaginaku sudah nyut-nyutan dan mulai mengeluarkan cairan pelumasnya.
"Ayok sayang..."
Tiba-tiba saja di tengah lamunanku, Fajar sudah berada di hadapanku dengan mengendarai motor maticnya.
"Ehh... Eee... I-iyaa..." Jawabku gugup karena sedikit terkejut.
"Kamu kenapa?"
Fajar bertanya padaku, memastikan jika aku sedang baik-baik saja ketika aku hendak naik ke jok belakangnya.
"Eee... Sayang, nanti jangan langsung ke kos dulu gimana?" Tanyaku setelah beberapa saat sempat terdiam.
"Emang kenapa? Terus kita mau kemana?"
"Eee... Mampir dulu ke rumah kamu gimana? Boleh gak?" Tanyaku penuh harap, karena aku sudah mengumpulkan niatku untuk mengatakan sejujurnya pada Fajar.
"Gimana ya, tapi orang tuaku lagi ke luar kota sayang, nggak ada siapa-siapa lagi."
Aku langsung menghembuskan nafas panjang, lalu menurunkan bahuku. Sepertinya niatku kali ini masih akan gagal dan harus menunggu waktu yang tepat lagi.
"Eee... Tapi kalo emang kamu mau ya gapapa sih, kita mampir ke rumahku dulu," ujar Fajar tiba-tiba yang langsung membuat wajahku kembali cerah.
"Beneran? Iya kok gapapa, yang penting kan bisa main dulu ke rumah kamu."
Setelah itu aku bergegas naik lalu duduk di jok belakang motornya Fajar. Aku sengaja lebih mendekatkan lagi tubuhku pada Fajar. Karena saat dia naik motor, Fajar selalu menaruh tasnya di depan.
Lalu Fajar segera menarik gas motornya hingga kami mulai melaju pelan di jalan raya. Sesekali tangan Fajar meraba kakiku lalu semakin naik dan meraba pahaku dari luar rok span hitam yang kupakai.
Aku membiarkan tangan Fajar menjelajahi tubuhku sepuasnya, meski banyak pengendara motor yang melihat kami berdua dengan tatapan sinis, aku sama sekali tak menghiraukannya.
Dikarenakan aku tadi pulang sekolah lebih awal, akhirnya sekitar pukul tiga kurang lima belas menit kami berdua sampai di rumahnya Fajar.
Rumah Fajar terletak di sebuah perumahan elit mewah, sehingga membuatku merasa kagum dan membayangkan sekaya apa orang tua Fajar.
"Ini beneran rumah kamu sayang?" Tanyaku dengan ekspresi kagum di wajahku.
"Iya... Masuk dulu yuk."
Kami berdua akhirnya masuk kedalam rumahnya yang terbilang besar dengan dua lantai ini. Aku terus mengikuti Fajar dengan tanganku yang masih terus menggandeng tangannya seakan tak ingin kehilangannya.
Setelah di dalam rumah dan melepas sepatuku, aku duduk di sofa ruang tamu yang empuk sedangkan Fajar masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua untuk menaruh tasnya.
Aku menaruh tasku di lantai sebelah sofa lalu memandangi interior rumahnya yang dipenuhi dengan barang-barang mewah.
Tak lama kemudian Fajar akhirnya turun dari kamarnya dengan memakai celana training panjang dan kaos oblong pendek.
"Mau dibikinin minum apa sayang," tanyanya dengan senyum manis terukir di wajahnya.
Aku hanya membalas senyumannya lalu menggelengkan kepalaku sebentar, namun tiba-tiba jantungku berdetak cukup kencang dan merasa agak gugup.
"Sayang, sini dulu deh..."
Aku meminta Fajar untuk menghampiriku lalu menyuruhnya duduk di sebelahku. Kemudian aku mengatur nafasku sejenak untuk menghilangkan kegugupanku.
"Kenapa sayang? Kok tiba-tiba kamu kayak gugup gitu," tanya Fajar kebingungan.
"Gapapa kok... Eee... Kamu gak pengen kayak di sekolah tadi?"
Kulihat Fajar sedikit terkejut mendengar pertanyaanku yang secara tiba-tiba itu. Kemudian aku mulai menatap wajahnya dengan ekspresi menggoda.
"Kayak di sekolah tadi gimana?" Tanya Fajar semakin kebingungan.
"Kamu gak pengen nyusu lagi tah?"
"Eehhh... Yaa pengen... Tapi... Tapi, kok gitu..."
Aku sengaja memasang ekspresi sedih di wajahku karena Fajar yang tidak peka, lalu aku mulai berdiri di hadapannya. Aku menyingkap jilbab hitamku ke belakang lalu perlahan membuka kancing bajuku satu persatu sampai kancing baju terakhir.
Namun sesaat setelahnya karena melihat wajahnya yang begitu polos, aku langsung berlutut di hadapannya dengan kedua tanganku menutup kedua sisi bajuku yang sudah terbuka.
"Jar... Maafin aku... Aku sama sekali gak pantas buat kamu... Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku..."
Air mataku mulai berlinang, menetes lalu mengalir membasahi kedua pipiku. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku yang sudah rusak ini mendapatkan laki-laki yang sangat baik seperti Fajar.
"Sayang, kamu kenapa eeh... Kok tiba-tiba nangis gitu... Udah yuk berdiri lagi, aku mau kok nyusu lagi."
Fajar menarik tubuhku, menyuruhku berdiri. Namun aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku masih saja terus berlutut di hadapannya yang saat ini tengah duduk di sofa empuk.
"Jar... Maafin aku... Aku udah gak jujur sama kamu... Sebenarnya... Sebenarnya aku udah rusak Fajar..."
Setelah mengatakan itu, aku semakin menangis tersedu-sedu, sedangkan kulihat Fajar hanya terdiam seakan sulit untuk mencerna apa yang kukatakan sebelumnya. Bahkan kini aku tak berani menatap wajahnya yang terlihat seperti seseorang yang sedang memendam amarah.
"Maksud kamu?"
"Iyaa... A-aku... Aku dulu sering gituan sama mantan aku..."
Aku masih terisak, meski aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan Fajar, lelaki yang begitu tulus mencintaiku.
Meski aku sudah mengatakannya pada Fajar, aku tak berani mengatakan yang sebenarnya. Sehingga hanya itulah satu-satunya alasan yang bisa kuucapkan pada Fajar.
"Ja-jadi... Jadi kamu udah gak perawan lagi, kenapa?... Kenapa kamu tidak bilang waktu aku tanya kemarin?"
Seketika aku terhenyak kaget karena tiba-tiba saja Fajar berkata dengan nada yang keras bermaksud untuk membentakku.
Sementara aku hanya terdiam, sebisa mungkin aku tidak menjatuhkan air mataku lagi dan sesekali tanganku mengusap pipiku yang basah karena air mataku sendiri.
Aku tahu Fajar saat ini sangat marah bahkan kecewa denganku, namun yang terpenting aku sudah mengatakannya pada Fajar, meski tidak sepenuhnya jujur.
"Aaaakhhh..."
Seketika aku terkejut karena saat itu juga Fajar menjambak rambut bagian belakang dari luar jilbabku, hingga aku mendongak menghadap ke arah wajahnya. Namun aku sama sekali tak berani menatap wajahnya.
"Ma-maaf... Aaww... Sakit..."
Hanya itu yang bisa kuucapkan saat ini, aku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya di rambutku menggunakan tangan kananku. Sementara tangan kiriku masih menahan kedua sisi bajuku supaya tidak terbuka semakin lebar.
"Kenapa masih ditutupin? Hah? Buka!..."
"I-iyaa..."
Aku masih tidak menyangka, ternyata Fajar yang selama ini pendiam dan sering dipalak oleh siswa laki-laki di sekolah, terlihat menyeramkan saat sedang marah seperti ini.
Perlahan aku melepaskan tangan kiriku yang menahan bajuku sehingga kedua sisi bajuku terbuka menampakkan payudaraku yang montok dan sekal.
Ditambah lagi tangan kananku yang masih berusaha melepaskan cengkeraman tangannya di rambut belakangku yang sangat kuat.
Kulihat tiba-tiba Fajar tersenyum miring lalu memandangi payudaraku dengan tatapan mesum.
"Tapi boleh juga Wid, kalo aku ngentotin kamu hehehe... Masa kamu udah ngasih keperawanan kamu sama mantanmu tapi aku gak kamu kasih apa-apa."
Aku sangat mengerti dengan apa yang diucapkan Fajar, pastinya saat ini Fajar sudah sangat bernafsu ingin sekali menyetubuhiku, merasakan sensasi jepitan vaginaku di penisnya yang besar dan panjang.
"I-iyaa... Aakhh... Sakitt..."
Kurasakan cengkeraman tangannya semakin kuat menjambak rambut bagian belakangku dari luar jilbabku.
Sesaat kemudian ia melepaskan cengkeramannya, lalu berdiri berjalan menuju pintu depan rumahnya lalu menutup pintu itu rapat.
"Ikut aku..."
"Akhh... Kemana?..."
Tak lama kemudian Fajar tiba-tiba mencengkeram lengan bagian atasku lalu menarik tubuhku dengan kasar. Aku hanya menuruti semua yang ia inginkan, hingga akhirnya ternyata Fajar menarikku masuk kedalam kamar tamu yang tak jauh dari ruang tamu tadi.
Setelah masuk, ia langsung mendorongku dan melemparku keatas kasur empuk yang ada di kamar tamu itu.
Dalam posisiku yang tengkurap setelah didorong oleh Fajar dengan kasar, aku melirik ke arah belakangku. Dimana saat ini Fajar sudah melepas semua pakaiannya sehingga terlihat penisnya yang besar dan panjang itu sudah sangat tegang.
Setelah itu ia ikut naik keatas kasur empuk lalu menindih tubuhku lalu mengunci kedua tanganku berada di belakangku, hingga aku tak bisa bergerak dengan bebas.
Kurasakan juga penisnya yang sudah tegang maksimal itu menempel tepat si pantatku yang masih tertutup rok span hitam.
ns 18.68.41.132da2