"Uhh..." Aku terbangun dari tidurku sori hari, ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Aduh, kok capek banget ya? Tapi aku harus ke rumah Pak Burhan malam ini, apa aku mandi lagi aja ya biar segar,"
Rasa lelah sore ini tak seperti biasanya, aku berusaha bangun dan ku lihat diriku sendiri di cermin di lemari pakaianku.
Aku tersenyum, ternyata meski baru bangun ternyata aku masih terlihat cantik, aku pun bergegas ke kamar mandi lalu ku lepas daster panjang dan jilbabku lalu mandi.
Meski dalam keadaan tidur, aku masih mengenakan jilbab, tapi bedanya jilbab yang ku pakai waktu tidur adalah jilbab sport yang tipis dan melar.
Setelah mandi, sambil menunggu adzan maghrib aku menyempatkan diri untuk mengaji yang sudah menjadi rutinitas ku sejak kecil.
Setelah shalat maghrib aku pun memilih pakaian yang akan ku kenakan, sebuah gamis panjang berwarna maroon dan hijab lebar berwarna krem, ditambah kaus kaki krem selutut dan pastinya aku juga memakai celana training berbahan tipis dibalik gamisku.
Ketika itu aku keluar kamar dan melihat sekeliling ternyata semua kamar tertutup, "Sepi sekali ya? Apa tiap hari begini?" ucapku dalam hati.
Tapi aku tak berfikir panjang, aku langsung keluar gerbang dan menutupnya kembali. Aku harus berjalan menyusuri jalan gang sejauh lima puluh meter menuju jalan raya.
"Eh, Neng Widya, mau kemana neng?"
Ku dengar suara seseorang mendorong gerobak yang saat itu berpapasan denganku, dia adalah Mang Tejo, penjual nasi goreng langgananku.
"Mau ke rumah temen mang, ada tugas kelompok," ucapku membalas sapaannya.
"Wah, ya sudah neng hati-hati ya, mamang keliling dulu," ucap Mang Tejo lalu melanjutkan mendorong gerobak dagangannya.
Aku hanya mengangguk pelan lalu ku lanjutkan berjalan menyusuri jalan gang yang masih ramai ini, karena belum terlalu malam.
Sesampainya di jalan raya, aku harus berjalan lagi ke arah kiri sekitar empat puluhan meter menuju halte. Biasanya jam segini harus nunggu agak lama sampai ada bus yang lewat.
Sekitar sepuluh menit kemudian, akhirnya ada bus yang datang dan langsung berhenti di depan halte. Tanpa menunggu lama aku pun menaiki bus yang ternyata tidak terlalu ramai itu. Aku memilih kursi yang berada nomor dua di belakang sopir.
Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di terminal pemberhentian bus, sebelum akhirnya aku harus naik ojek untuk sampai di sebuah alamat yang tertulis di kertas pemberian Pak Burhan.
Alamat yang di berikan oleh Pak Burhan berlawanan arah dengan tempat kos ku jika dari sekolah, jadi terasa lebih jauh saja.
Dan ternyata untuk sampai di sana naik ojek, aku harus menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Setelah sampai, ternyata tersebut berada di sebuah kompleks yang tampak cukup sepi dan tidak begitu familiar bagiku. Meski aku merasa gugup, tapi aku tetap berharap Pak Burhan benar-benar mau membantuku.
Setelah aku turun dari ojek dan berniat membayar, aku melihat pengendara motor yang memboncengku sedikit tersenyum genit ke arahku.
Aku tak terlalu menghiraukannya, bagiku yang terpenting adalah bisa menemukan alamat ini secepat mungkin.
Tapi saat aku melihat sekeliling, aku tak tahu harus menemukan alamat yang diberikan oleh Pak Burhan di mana. Bahkan komplek ini tampak sepi dan kurang terawat.
Akhirnya aku pun menyerah dan mendekati seorang satpam yang sedang berjaga di pos keamanan.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak tahu alamat ini?" tanyaku sambil menunjukkan kertas yang berisi alamat yang diberikan Pak Burhan.
Satpam itu nampak terkejut dan mengamati ku dengan pandangan yang tajam dan sedikit menyeringai.
"Oh, mbaknya mau ke sana? Cantik-cantik ke kompleks ini sendirian? Emangnya mau ngapain mbak?" Tanya satpam itu dengan tatapan penuh arti padaku.
"Saya ada janjian sama orang, pak."
"Oh, begitu. Jalan terus, nanti belok kanan di ujung, rumahnya ada di sebelah kiri."
"Terima kasih, Pak." ucapku, namun saat aku ingin segera pergi, bapak itu menghadangku dengan tangannya.
"Tunggu dulu mbak, gak usah buru-buru gitu dong, temenin saya dulu di sini, emangnya ukhti seperti mbak ini tarifnya mahal ya?"
Mendengar pertanyaan dari satpam itu, seketika membuatku marah, apa maksudnya bertanya seperti itu.
"Jangan kurang ajar ya! Maksud bapak apa?"
"Ya saya kan cuma bertanya, mbaknya kesini mau jual diri kan?" Satpam itu bertanya dengan nada genit dan tangannya berusaha menyentuh wajahku yang lembut.
Aku merasa seakan hatiku tersambar petir, ternyata ada orang yang menaruh curiga seperti itu padaku. Aku pun langsung menampar tangan bapak itu supaya tidak sampai menyentuh wajahku.
"Astaghfirullah, Pak. Kenapa bapak bertanya seperti itu?."
Aku tak mau berurusan terlalu lama dengan satpam cabul itu, kemudian aku bergegas pergi meninggalkan satpam cabul itu.
"Ya sudah mbak, nanti selesai pulangnya mampir sini dulu ya, saya mau juga kalau ceweknya ukhti-ukhti sepertimu hehehe..."
Saat aku berjalan menjauh, ku dengar apa yang diucapkan satpam itu, aku tak mempedulikannya dan berjalan menuju alamat rumah Pak Burhan secepatnya.
Selama berjalan, banyak mata laki-laki maupun perempuan yang memandangiku dengan aneh, mereka semua menatapku dengan tatapan asing.
Terlebih lagi di ujung jalan saat aku akan belok ke kanan, tepat di sebelah kiri ujung jalan yang merupakan pertigaan itu aku melihat seorang pemuda dengan penampilan seperti preman terus memandang ke arahku, seakan mengawasi setiap gerak-gerik ku.
Saat itu pula aku merasa semakin tidak nyaman, apakah dia akan merampokku? gumamku dalam hati. Ku lirik ke arah belakang dan benar saja dia seperti mengikuti ku.
Dengan jantung berdebar, aku terus berjalan, mencoba menghindari tatapan tajam dari pemuda tersebut. Aku mempercepat langkahku, berharap segera sampai di tempat Pak Burhan.
Setelah melewati beberapa belokan, akhirnya aku melihat rumah yang dimaksud oleh satpam tadi. Dengan hati yang sedikit lega, aku mengetuk pintu dengan hati-hati.
tok, tok, tok "Assalamu'alaikum..."
Tak ada jawaban apapun dari dalam, aku menoleh ke arah jalan dan benar saja, preman itu ternyata mengikuti ku sampai di sini, bahkan dia memandangku dengan tatapan tajam.
Aku kembali berusaha mengetok pintu, namun belum sempat aku mengetok pintu, aku mendengar seseorang dari dalam membuka pintu.
"Alhamdulillah..."
Aku merasa lega, hingga pintu benar-benar terbuka, aku melihat Pak Burhan yang menyambut ku dengan senyum lebar.
"Eh Widya, sudah sampai ya. Ayo masuk dulu."
Setelah aku mencium tangan Pak Burhan layaknya seorang murid mencium tangan gurunya, aku pun bergegas masuk.
Aku merasa sedikit tenang meskipun perasaan tidak nyamannya belum sepenuhnya hilang.
Pak Burhan mengangguk, menutup pintu di belakangnya. "Widya, kamu duduk dulu di ruang tamu, saya buatkan minum dulu ya." Ucapnya kemudian menutup pintu lalu menguncinya.
Aku duduk di sofa, mencoba menghilangkan kegelisahanku sambil menunggu Pak Burhan kembali dari dapur. Ruang tamu yang luas dan mewah ini terasa nyaman, meskipun aku masih merasa sedikit cemas.
Tidak lama kemudian, Pak Burhan kembali dengan dua gelas minuman di tangannya. "Ini, Widya. Saya buatkan teh hangat untukmu. Semoga ini membantu membuatmu merasa lebih nyaman," katanya sambil tersenyum.
"Terima kasih, Pak." Ucapku seraya menerima gelas tersebut.
Pak Burhan duduk di sofa di seberangku dan mulai meminum tehnya. Aku sendiri meneguk teh hangat dan kurasa minuman itu cukup menyegarkan.
Pak Burhan sendiri belum mengatakan apa-apa, mungkin beliau masih ingin menunggu supaya aku sedikit tenang.
Setelah beberapa tegukan teh itu menghangatkan tenggorokanku, tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku.
Perlahan kepalaku mulai terasa pening dan pandanganku sedikit kabur lalu dunia terasa seperti berputar-putar, hingga akhirnya perasaan itu berhenti.
Tapi tidak cukup di situ, tubuhku yang baru saja normal, tiba-tiba dari daerah kemaluanku terasa gatal dan lubang vaginaku terasa terbuka dan timbul perasaan seperti ingin kencing.
*Ahh... Kenapa ini? Kenapa kemaluanku gatal sekali, rasanya seperti ingin di garuk, ahh...*
Aku berusaha menenangkan diriku, mulai dari merubah posisi duduk, bahkan sampai aku menyilangkan kedua kakiku, namun malah vaginaku terasa semakin gatal.
"Widya, kamu kenapa? Lagi gak enak badan?"
"Enghh... Tidak apa-apa pak..."
"Baiklah, kalau begitu saya akan langsung saja penjelasannya ya,"
"I-iyahh Pak, ahh..."
Apa itu tadi? apa aku baru saja mengeluarkan suara seperti orang mendesah? Ada apa denganku?
Aku masih merasa ada yang aneh di dalam tubuhku, sedangkan Pak Burhan mulai menjelaskan yang awalnya beliau mengatakan program beasiswa, namun setelahnya entah apa aku tidak bisa fokus.
Saat ini kurasakan keringat mulai bercucuran dari pori-pori tubuhku, padahal ini adalah malam hari yang cukup dingin, apa karena tehnya terlalu panas ya? Ah tidak, bukan.
Bahkan saat ini aku mulai merasa sangat gerah, ingin rasanya aku melepas semua pakaian berlapis yang ku kenakan.
Tanpa ku sadari, nafasku mulai tersengal-sengal, ditambah lagi kaki ku sedikit gemetar karena rasa gatal yang amat sangat di vaginaku. Kurasakan juga celana dalamku sedikit becek.
Saat aku menunduk, ku lihat samar-samar Pak Burhan berdiri lalu berjalan ke arah pintu. Namun ternyata kurasakan beliau sudah berdiri di belakangku tak lama kemudian kurasakan kedua tangan Pak Burhan memegang dan meremas payudaraku dengan kasar.
"Ahh... Pak... Jangaann..." Aku berteriak berusaha berontak melepaskan tangannya yang masih mendekap payudaraku dari luar hijab panjangku.
"Hehehe... Bener kan, dugaan saya. Kamu itu ternyata punya toket yang besar dan kenyal."
"Ahh... Pak... Jangan, Pak... Dosaa!!... Ahh..."
Aku tak sengaja mendesah karena Pak Burhan masih terus meremas payudaraku, pria itu juga mendekapku sehingga tenagaku tak mampu menandingi tenaganya yang kuat.
"Ahh... Sudah Paak... Hentikaann..."
Aku berusaha memohon, tapi pria itu sama sekali tak menggubrisku. Lalu dari arah dapur, datanglah Pak Wahyu dan Pak Arif.
Ya, Pak wahyu guru matematika killer dan Pak Arif satpam sekolah, mereka berdua berjalan dari arah dapur hanya mengenakan sarung tanpa memakai baju sama sekali.
ns 15.158.61.5da2